Home » Kitab Suci » Kisah dibalik Metta Sutta ( Ceramah Dhamma tentang Cinta Kasih)

Kisah dibalik Metta Sutta ( Ceramah Dhamma tentang Cinta Kasih)

padamutisarana 18 Mei 2016 2.206

asal mula sutta cinta kasih karaniyametta sutta TisaranaDotNet

Oleh : Acharya Buddharakkhita

Membabarkan Karaniya Metta Sutta dijelaskan dalam kitab komentar yang ditulis oleh Acariya Buddhaghosa, yang memperolehnya langsung dari garis silsilah para tetua hingga pada masa kehidupan Sang Buddha. Dikisahkan bahwa terdapat lima ratus orang bhikkhu yang memperoleh petunjuk dari Sang Buddha mengenai teknik-teknik meditasi yang sesuai dengan karakter mereka masing-masing.

Maka, selanjutnya mereka pergi ke kaki gunung Himalaya untuk menghabiskan masa musim penghujan selama empat bulan dengan hidup mengasingkan diri dan berlatih meditasi. Pada masa-masa itu, satu atau dua bulan sebelum masa musim penghujan dimulai, para bhikkhu dari berbagai belahan kerajaan akan berkumpul dimana Sang Buddha berdiam untuk menerima petunjuk langsung dari sang Guru Agung. Setelahnya, mereka akan kembali ke vihara-vihara, hutan-hutan atau tempat pertapaannya masing-masing untuk berlatih keras dalam upaya mencapai kebebasan batin.

Demikianlah, lima ratus orang bhikkhu ini mengunjungi Sang Buddha yang berdiam di Savatthi dalam hutan Jeta di sebuah vihara yang dibangun oleh Anathapindika.

Setelah memperoleh petunjuk, mereka pergi mencari tempat yang sesuai untuk berlatih, dan dalam pencariannya menemukan sebuah bukit kecil yang indah di kaki gunung Himalaya. Tempat ini, menurut gambaran yang diberikan dalam kitab tersebut, “terlihat seperti Kristal kuarsa biru yang kemilau: dihiasi dengan kumpulan pepohonan yang sejuk, rindang, dan hijau dengan bentangan tanah yang ditutupi oleh pasir, menyerupai sebuah jaring mutiara atau selembar perak, dan dilengkapi dengan sebuah mata air yang bersih dan sejuk”. Para bhikkhu terpesona oleh pemandangan ini.

Terdapat sekelompok kecil penduduk desa yang tinggal di dekat tempat tersebut, dan juga sebuah kota perdagangan kecil yang cocok sebagai tempat menerima dana makanan. Para bhikkhu menghabiskan satu malam di hutan tersebut dan keesokan paginya pergi ke kota untuk menerima dana makanan.

Para penduduk di daerah tersebut sangat senang melihat kehadiran bhikkhu-bhikkhu, karena sangat jarang sekelompok bhikkhu datang menghabiskan masa musim penghujan di bagian Himalaya tersebut. Para umat melakukan pindapatta kepada para bhikkhu dan memohon agar para bhikkhu bersedia tinggal sebagai tamu mereka, menjanjikan akan membangun sebuah pondokan kecil bagi tiap bhikkhu di dekat hutan kecil sehingga mereka dapat menghabiskan siang dan malam berlatih meditasi di bawah naungan dahandahan tua dari pepohonan raksasa. Para bhikkhu setuju dan para umat segera membangun pondokan-pondokan kecil di sepanjang tepi hutan dan menyediakan sebuah kayu dipan, bangku kecil dan seguci air (untuk minum dan mencuci) di setiap pondokan tersebut. Setelah para bhikkhu berdiam dengan puas di dalam pondokan-pondokan tersebut, setiap bhikkhu memilih satu pohon untuk berlatih meditasi di bawah naungannya, sepanjang siang dan malam. Pada saat itu, juga diceritakan bahwa pepohonan raksasa di daerah tersebut didiami oleh para dewa pohon yang mendirikan kerajaan surgawi dengan menggunakan pohon-pohon tersebut sebagai fondasinya.

Para dewa pohon yang merupakan pemilik rumah di pohon tersebut menyingkir sementara bersama anggota keluarga mereka tidak merasa nyaman untuk tinggal di atas para bhikkhu. Atas dasar kebajikan para bhikkhu, dihargai oleh semua makhluk, demikian pula para dewa pohon. Para dewa pohon berpikir bahwa para bhikkhu tersebut hanya menetap selama satu sampai dua malam dan dengan senang menanggung ketidaknyamanan ini. Namun, hari demi hari silih berganti, para bhikkhu masih tetap berlatih di bawah pohon-pohon tersebut, kemudian para dewa mulai bertanya-tanya kapan mereka akan pergi. Mereka seperti penduduk desa yang terasingkan dari rumah rumahnya dan para dewa hanya memperhatikan dari kejauhan sambil bertanya-tanya kapan akan menempati rumah mereka kembali.

Para dewa yang tersingkir ini mendiskusikan keadaan mereka dan memutuskan untuk menakuti nakuti para bhikkhu dengan memperlihatkan objek-objek menakutkan, membuat suara-suara yang mengerikan dan menciptakan bau yang memuakkan. Demikianlah, mereka membuat kondisi-kondisi mengerikan ini dan mempengaruhi para bhikkhu. Segera para bhikkhu menderita keletihan dan tidak dapat lagi berkonsentrasi pada subjek latihan meditasi mereka. Saat para dewa meneruskan tindakan buruk ini, para bhikkhu bahkan dapat kehilangan akal pikiran dan pikiran mereka seakan dipenuhi oleh penglihatan-penglihatan, suara-suara, dan bau-bau yang menyerang. Saat para bhikkhu berkumpul untuk menunggu pendapat bhikkhu paling senior dalam kelompok tersebut, setiap bhikkhu saling menceritakan pengalaman mereka.

Bhikkhu paling senior menyarankan:

“Mari kita pergi, Saudaraku, menemui Sang Buddha dan menceritakan permasalahan ini kepada beliau. Terdapat dua jenis latihan masa musim penghujan – yang awal dan akhir. Meskipun kita akan melewatkan latihan yang pertama dengan meninggalkan tempat ini, namun kita masih dapat melaksanakan latihan yang kedua setelah menemui Sang Guru Agung”.

Pada akhirnya para bhikkhu setuju pergi meninggalkan tempat tersebut tanpa memberitahukan para umat sekitarnya di daerah tersebut. Tibalah para bhikkhu di Savatthi, menemui Sang Buddha, bersujud di hadapan Beliau, dan menceritakan pengalamanpengalaman mengerikan yang mereka alami, serta memohon untuk diizinkan berlatih di tempat lainnya. Sang Buddha, dengan kekuatan batinnya, melihat ke seluruh pelosok India, namun tidak menemukan satu tempat pun kecuali tempat yang telah mereka diami sebelumnya, agar mereka dapat memperoleh kebebasan batin, dan kemudian berkata kepada para bhikkhu tersebut:

“Para bhikkhu, kembalilah ke tempat sebelumnya yang telah kalian diami. Hanya dengan berjuang di sanalah kalian akan dapat menghancurkan noda-noda batin. Jangan takut! Jika kalian ingin terbebas dari gangguan yang dilakukan oleh para dewa tersebut, pelajarilah Sutta ini. Sutta ini akan menjadi pokok dasar renungan meditasi sebagaimana pula sebagai rumus dasar perlindungan (paritta).”

Selanjutnya Sang Guru melafalkan Karaniya Metta Sutta Sutta tentang Cinta Kasih Universal — yang dipelajari oleh para bhikkhu dengan menghapal di hadapan Sang Buddha. Kemudian mereka kembali ke tempat yang sama. Saat para bhikkhu kembali ke vihara di Savatthi (Hutan Jeta), kediaman mereka sebelumnya dengan melafalkan Metta Sutta, berpikir dan berkonsentrasi pada makna yang terkandung di dalamnya, hati para dewa terisi penuh oleh perasaan hangat akan kebajikan hingga mereka membentuk diri mereka menjadi manusia dan menerima para bhikkhu dengan kesungguhan hati. Mereka membawa mangkuk para bhikkhu, menuntun para bhikkhu ke kamarnya masingmasing, mengisi air dan makanan, dan kemudian dengan kembali ke bentuk aslinya, mengundang para bhikkhu untuk menempati dasar pohon dan bermeditasi tanpa keraguan atau ketakutan.

Selama masa tiga bulan musim penghujan, para dewa tidak hanya menjaga para bhikkhu dalam segala hal saja, tetapi memastikan bahwa tempat tersebut bebas dari segala bentuk suara. Menikmati keheningan sempurna ini, pada masa akhir musim penghujan, semua bhikkhu (500 orang) memperoleh puncak kesempurnaan batin dan menjadi Arahat. Setiap bhikkhu dari kelima ratus bhikkhu tersebut menjadi arahat.

Demikianlah kekuatan intrinsik yang terkandung dalam Metta Sutta. Siapapun yang melafalkan Sutta ini dengan penuh keyakinan, memohon perlindungan para dewa dan bermeditasi atas dasar metta, ini bukan hanya akan melindungi dirinya sendiri dalam segala bentuk, namun juga akan melindungi semua makhluk di sekitarnya sehingga meningkatkan kemajuan batin yang dapat dibuktikan.

Tidak ada kemalangan yang akan menimpa seseorang yang mengikuti jalan metta ini.

 

Sumber:

Vidyāsenā Production
Vihāra Vidyāloka

Comments are not available at the moment.

Sorry, the comment form has been disabled on this page/article.
Related post
Berani Jujur Itu Hebat – Materi Sekolah Minggu Buddha – Roch Aksiadi

padamutisarana

17 Jul 2022

Gambar ilustrasi Pedagang yang Baik sedang berinteraksi Tisarana.Net  – 17 Juli 2022 – SMB Sidharta Vihara Padumuttara Tangerang Banten Pagi nan cerah di vihara daerah Kota Tangerang Provinsi Banten, terlihat sangat ramai para umat yang beribadah. Vihara ini sudah sangat terkenal di daerah Tangerang pada kususnya dan di Indonesia pada umumnya. Umat Buddha di Jabodetabek …

Apakah yang menjadi pemisah, pembagi, dan perbedaan diantara mereka?

padamutisarana

08 Nov 2019

Renungan Harian Agama Buddha Oleh : Ven. Shravasti Dhammika Seorang awam mengalami perasaan menyenangkan, menyakitkan, dan netral. dan demikian pula dengan siswa utama yang telah mendapatkan petunjuk. Jadi, apakah yang menjadi pemisah, pembagi, dan perbedaan diantara mereka? Bila seorang awam tersentuh oleh suatu perasaan menyakitkan, la gelisah dan bersedih hati, meratap. memukuli dadanya, menangis, dan …

Sigalovada Sutta – Ajaran Guru Buddha untuk Perumah Tangga

padamutisarana

26 Okt 2019

SIGALOVADA SUTTA Sumber : Sutta Pitaka Digha Nikaya Oleh : Penterjemah Kitab Suci Agama Buddha Penerbit : Badan Penerbit Ariya Surya Chandra, 1991 Demikian yang telah kami dengar : 1. Pada suatu ketika Sang Bhagava sedang berdiam di Rajagaha, di Vihara Hutan Bambu di Kalandakanivapa (Tempat Pemeliharaan Tupai). Pada waktu itu, Sigala Putra kepala keluarga, …

Kisah Murid Yang Tinggal Bersama Mahakassapa Thera

padamutisarana

12 Des 2017

👉Ketika Mahakassapa Thera bersemayam dekat Rajagaha, beliau tinggal bersama dua orang bhikkhu muda. Salah satu bhikkhu tersebut sangat hormat, patuh, dan taat kepada Mahakassapa Thera. Tetapi bhikkhu yang satu lagi tidak seperti itu. Ketika Mahakassapa Thera mencela kekurang-taatan melaksanakan tugas-tugas murid yang belakangan, murid tersebut sangat kecewa. Pada suatu kesempatan, ia pergi ke salah satu …

Kisah Kumbhaghosaka – Dhammapada 2 : 24

padamutisarana

11 Des 2017

Suatu ketika, ada suatu wabah penyakit menular menyerang kota Rajagaha. Di rumah bendahara kerajaan, para pelayan banyak yang meninggal akibat wabah tersebut. Bendahara dan istrinya juga terkena wabah tersebut. Ketika mereka berdua merasa akan mendekati ajal, mereka memerintahkan anaknya Kumbhaghosaka untuk pergi meninggalkan mereka, pergi dari rumah, dan kembali lagi pada waktu yang lama, agar …

Kisah Punna Seorang Budak Wanita

padamutisarana

10 Des 2017

Suatu malam, Punna, seorang budak wanita, sedang menumbuk padi untuk tuannya. Karena lelah, ia beristirahat sejenak. Saat beristirahat, ia melihat Dabba Thera memimpin beberapa bhikkhu berjalan menuju vihara, setelah mereka mendengarkan Dhamma. Gadis itu melihat mereka masih terjaga, ia pun merenung, “Aku masih terjaga hingga larut malam karena aku seorang yang miskin dan harus bekerja …

x
x