Sebab-Musabab yang Saling Bergantungan
(Paticcasamuppada)
Ketika Sang Buddha berdiam di Savatthi…” Para bhikkhu, saya akan dan menganalisa sebab-musabab yang saling bergantungkan kepada kalian.”
”Dan apakah sebab-musabab yang bergantungan itu? Dari ketidaktahuan (avijja) sebagai kondisi penyebab maka muncullah bentuk-bentuk perbuatan/kamma (sankhara). Dari bentuk-bentuk perbuatan/kamma (sankhara) sebagai kondisi penyebab maka muncullah kesadaran (vinnana). Dari kesadaran (vinnana) sebagai kondisi penyebab maka muncullah batin dan jasmani (nama-rupa). Dari batin dan jasmani (nama-rupa) sebagai konsisi penyebab maka muncullah enam indera (salayatana). Dari enam indera (salayatana) sebagai kondisi penyebab maka muncullah kesan-kesan (phassa). Dari kesan-kesan (phassa) sebagai kondisi penyebab maka muncullah perasaan (vedana). Dari perasaan (vedana) sebagai konsisi penyebab maka muncullah keinginan/kehausan (tanha). Dari keinginan/kehausan (tanha) sebagai kondisi penyebab maka muncullah kemelekatan (upadana). Dari kemelekatan (upadana) sebagai kondisi penyebab maka muncullah proses kelahiran kembali (bhava). Dari proses kelahiran kembali (bhava) sebagai kondisi penyebab maka muncullah kelahiran kembali (jati). Dari kelahiran kembali (jati) sebagai kondisi penyebab maka muncullah kelapukan dan kematian, duka cita, sakit, kesusahan dan keputus-asaan (jaramaranang). Demikianlah penyebab dari seluruh kesusahan dan penderitaan.”
(Paticca-samuppada-vibhanga Sutta; Samyutta Nikaya 12.2 {S 2.1})
Paticcasamuppada atau hukum sebab-musabab yang saling bergantungan merupakan salah satu ajaran yang terpenting dalam Buddha Sasana. Paticcasamuppada adalah suatu ajaran yang menyatakan adanya sebab-musabab yang terjadi dalam kehidupan semua makhluk, khususnya manusia. Dengan menganalisa dan merenungkan Paticcasamuppada inilah, Petapa Gotama akhirnya mencapai Penerangan Sempurna menjadi Buddha.
Dalam kotbahNya di dalam Maha-hatthipadopama Sutta; Majjhima Nikaya 28, Y.A. Sariputta, menyampaikan bahwa Sang Buddha mengatakan betapa pentingnya Paticcasamuppada, ” Yo paticcasamuppadam passati, so Dhammam passati. Yo Dhammam passati, so paticcasamuppadam passati.” (Ia yang melihat Paticcasamuppada, juga melihat Dhamma. Ia yang melihat Dhamma, juga melihat Paticcasamuppada) –
Secara sederhana Paticcasamuppada yang juga merupakan hukum sebab akibat yang dapat dipahami dengan rumusan seperti di bawah ini:
-
Imasming Sati Idang Hoti
Dengan adanya ini, maka terjadilah itu. -
Imassuppada Idang Uppajjati
Dengan timbulnya ini, maka timbulah itu. -
Imasming Asati Idang Na Hoti
Dengan tidak adanya ini, maka tidak adalah itu. -
Imassa Nirodha Idang Nirujjati.
Dengan terhentinya ini, maka terhentilah juga itu.
Dengan menganalisa rumusan atau prinsip yang saling menjadikan, relatifitas, dan saling bergantungan ini, maka dapat ditemukan 12 sebab-musabab (nidana) yang ada dalam setiap makhluk khususnya manusia. Keduabelas nidana itu yaitu:
- Avijja Paccaya Sankharang
Dengan adanya Avijja (ketidaktahuan/kebodohan), maka muncullah
Sankhara (bentuk-bentuk perbuatan/kamma). - Sankhara Paccaya Vinnanang
Dengan adanya Sankhara (bentuk-bentuk perbuatan/kamma), maka muncullah
Vinnana (kesadaran). - Vinnana Paccaya Nama-Rupang
Dengan adanya Vinnana (kesadaran), maka muncullah
Nama-Rupa (batin dan jasmani). - Nama-Rupa Paccaya Salayatanang
Dengan adanya Nama-Rupang (batin dan jasmani), maka muncullah
Salayatana (enam indera). - Salayatana Paccaya Phassa
Dengan adanya Salayatana (enam indera), maka muncullah
Phassa (kesan-kesan). - Phassa Paccaya Vedana
Dengan adanya Passa (kesan-kesan), maka muncullah
Vedana (perasaan) - Vedana Paccaya Tanha
Dengan adanya Vedana (perasaan), maka muncullah
Tanha (keinginan/kehausan). - Tanha Paccaya Upadanang
Dengan adanya Tanha (keinginan/kehausan), maka muncullah
Upadana (kemelekatan). - Upadana Paccaya Bhavo
Dengan adanya Upadana (kemelekatan), maka muncullah
Bhava (proses tumimbal lahir). - Bhava Paccaya Jati
Dengan adanya Bhava (proses tumimbal lahir), maka muncullah
Jati (kelahiran kembali). - Jati Paccaya Jaramaranang
Dengan adanya Jati ( kelahiran kembali), maka muncullah
Jaramaranag (kelapukan, kematian, keluh-kesah, sakit, dan sebagainya). -
Jaramaranang
Kelapukan, kematian, keluh-kesah, sakit, dan sebagainya merupakan akibat dari adanya kelahiran kembali.
Kemudian dalam Paticca-samuppada-vibhanga Sutta; Samyutta Nikaya 12.2, juga dijelaskan dengan terhentinya dan tidak munculnya salah satu penyebab yaitu Avijja(ketidaktahuan/kebodohan), maka terhenti dan tidak muncul pula sebab-musabab yang mengikutinya. Dengan terhentinya Avijja maka tidak akan muncul Sankhara, Vinnana, Nama-Rupa, Salayatana, Phassa, Vedana, Tanha, Upadana, Bhava, Jati, dan Jaramaranang.
Dalam kehidupan sehari-hari kita, yaitu dalam diri kita sendiri, kita dapat menemukan dan menganalisa sebagian dari Hukum Paticcasamuppada. Sebagai contoh, diuraikan dibawah ini.
Kita dilahirkan di dunia ini dengan memiliki jasmani dan batin/pikiran. Dengan menganalisa kita dapat memahami bahwa kita memiliki tubuh yang bermateri yang sifatnya adalah kasatmata. Kita memiliki kepala, tubuh, kedua tangan dan kaki dan lain sebaginya. Kemudian kita menganalisa bahwa kita dapat berpikir, memiliki kehendak, maka dengan demikian itu berarti kita memiliki batin atau pikiran yang sifatnya tidak kasatmata. Pada tahap ini, kita telah menganalisa tentang keberadaan nidana no.4 mengenai keberadaan Nama-Rupa (jasmani dan batin).
Kemudian dengan adanya jasmani dan batin pada umumnya kita memiliki indera antara lain, indera penglihatan (mata), indera pendengaran (telinga), indera pengecap (lidah), indera penciuman (hidung), indera peraba/sentuhan (kulit) dan indera pikiran. Dengan indera-indera ini kita dapat melihat bentuk dan warna, mendengar suara, merasakan rasa, merasakan aroma/bau, merasakan tekstur, lembut dan kasar. Pada tahap ini, kita telah menganalisa tentang keberadaan nidana no.5 mengenai keberadaan Salayatana (6 indera).
Dengan memiliki indera, kita dapat mengalami berbagai kesan-kesan. Kita bisa melihat bentuk dan warna yang memberi kesan indah atau buruk, suara yang merdu atau sumbang, rasa yang lezat atau tidak, aroma yang harum atau bau busuk, merasakan kelembutan atau kekasaran. Pada tahap ini, kita telah menganalisa tentang keberadaan nidana no.6 mengenai keberadaan Phassa (kesan-kesan).
Setelah kita memiliki kesan-kesan terhadap sesuatu melalui indera kita, kemudian kita mulai merasakan dan memisahkan mana yang menyenangkan dan tidak menyenangkan. Kita merasa senang dengan bentuk dan warna yang indah dan menolak bentuk-bentuk yang tidak sesuai dengan keinginan kita. Kita merasa senang dengan suara-suara yang merdu dan nyaman di telinga kita dan menolak suara yang tidak merdu, kita merasa senang dengan rasa yang nikmat, aroma yang harum dan merasa tidak senang dengan rasa yang tidak enak dan aroma yang berbau busuk. Pada tahap ini, kita telah menganalisa tentang keberadaan nidana no.7 mengenai keberadaan Vedana (perasaan).
Ketika perasaan, baik perasaan yang menyenangkan ataupun perasaan yang tidak menyenangkan telah muncul, bagi kita yang belum sadar, kita terlena dengan perasaan-perasaan tersebut. Kita terlena pada perasaan yang menyenangkan sehingga kita menginginkan terus sesuatu yang membuat perasaan senang tersebut muncul. Inilah nidana no.8 yaitu Tanha (keinginan/kehausan).
Keinginan kita untuk terus menerus memiliki, menikmati, memeluk erat, tidak ingin kehilangan, tidak ingin berpisah atau berjauhan dari sesuatu yang membuat perasaan kita senang, membuat diri kita tidak bisa melepaskannya, tidak merelakan jika sesuatu itu harus hilang, pergi, menjauh dari diri kita. Inilah nidana no.9 yaitu Upadana (kemelekatan).
Dengan munculnya kemelekatan pada pikiran kita, maka kita tidak bisa terlepas dari Bhava (proses kelahiran kembali). Hal ini dapat digambarkan sebagai seseorang yang kembali lagi dan lagi ke sebuah restoran yang menyajikan makanan kesukaannya. Hanya dengan menghentikan kemelekatan akan hidup dan kehidupan maka kita dapat menghentikan proses kelahiran kembali.
Sumber Tulisan :
Bhagavant.com
Sumber Gambar :
http://image.slidesharecdn.com/