Meskipun hanya membaca sedikit kitab suci
namun ia melaksanakan Ajaran Dhamma dengan sungguh-sungguh
melenyapkan pandangan keliru, nafsu raga dan kebencian
tidak melekat pada apapun dalam kehidupan ini maupun dalam
kehidupan yang akan datang, maka ia akan mendapat manfaat dari
kehidupan dalam pasamuan para bhikkhu.
Dhammapada – Yamaka Vagga, 20
Dhamma dikatakan indah pada awalnya, indah pada pertengahannya, dan indah pada akhirnya. Apa yang dimaksud dengan pernyataan di atas? Indah pada awalnya adalah indah pada teori-teorinya (pariyati). Indah pada pertengahannya adalah indah pada pelaksanaannya, praktik Dhamma (paṭipatti) dan indah pada akhirnya adalah indah pada hasil atau pencapaian dari pelaksanaan Dhamma itu (paṭivedha). Dalam hal ini merujuk pada pencapaian akhir duka, Nibbāna.
Sebagai seorang umat Buddha yang berkeyakinan pada Tiratana (Buddha, Dhamma, dan Saṅgha). Supaya merasakan keindahan Dhamma yang indah pada awalnya, indah pada pertengahannya, dan indah pada akhirnya. Hendaknya selalu bersemangat untuk terus belajar Dhamma dan jangan lupa untuk melaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga akan mendapatkan manfaat dari belajar dan melaksanakan Dhamma itu.
Hidup Dekat dengan Dhamma
Hidup dekat dengan Dhamma. Bagaimanakah seseorang dapat selalu hidup dekat dengan Dhamma? Mari kita ikuti cerita di bawah ini:
Suatu ketika seorang bhikkhu mendekati Buddha dan berkata kepada Beliau, “Hal ini, Bhante, dikatakan, ‘Orang yang hidup dekat dengan Dhamma! Orang yang hidup dekat dengan Dhamma!’ Dengan cara bagaimanakah Bhante, seorang bhikkhu adalah orang yang hidup dekat dengan Dhamma?”
“Di sini, seorang bhikkhu menguasai Dhamma, khotbahkhotbah, prosa campuran, penjelasan, syair, ungkapan-ungkapan yang penuh inspirasi, ucapan-ucapan singkat, cerita-cerita kelahiran, cerita-cerita yang luar biasa, dan lain-lainnya. Dia melewatkan hari-harinya dengan sibuk menguasai Dhamma, dia mengabaikan kesendirian, dia tidak memaksa diri untuk memperoleh ketenangan pikiran di dalam dan selanjutnya dia tidak memahami artinya dengan kebijaksanaan. Ini disebut bhikkhu yang sibuk belajar, bukan orang yang hidup dekat dengan Dhamma.”
“Selanjutnya, bhikkhu, seorang bhikkhu mengajarkan Dhamma secara terinci kepada yang lain sebagaimana yang dipelajari dan dikuasainya. Dia melewatkan hari-harinya sibuk mengajar Dhamma, dia mengabaikan kesendirian, dia tidak memaksa diri untuk memperoleh ketenangan pikiran di dalam dan selanjutnya dia tidak memahami artinya dengan kebijaksanaan. Ini disebut bhikkhu yang sibuk mengajar, bukan orang yang hidup dekat dengan Dhamma.”
“Selanjutnya, bhikkhu, seorang bhikkhu yang mengulang Dhamma secara terinci sebagaimana yang telah dipelajari dan dikuasainya. Dia melewatkan hari-harinya sibuk untuk mengulang Dhamma, dia mengabaikan kesendirian, dia tidak memaksa diri untuk memperoleh ketenangan pikiran di dalam dan selanjutnya dia tidak memahami artinya dengan kebijaksanaan. Ini disebut bhikkhu yang sibuk mengulang, bukan orang yang hidup dekat dengan Dhamma.”
“Selanjutnya, bhikkhu, seorang bhikkhu merenung, memeriksa dan secara mental menyelidiki sebagaimana yang telah dipelajari dan dikuasainya. Dia melewatkan hari-harinya sibuk merenungkan Dhamma, dia mengabaikan kesendirian, dia tidak memaksa diri untuk memperoleh ketenangan pikiran di dalam, dan selanjutnya dia tidak memahami artinya dengan kebijaksanaan. Ini disebut bhikkhu yang sibuk merenung, bukan orang yang hidup dekat dengan Dhamma.”
“Tetapi di sini, bhikkhu, seorang bhikkhu yang menguasai Dhamma: khotbah-khotbah dan lain-lainnya. Dia tidak melewatkan hari-harinya sibuk menguasai Dhamma, dia tidak mengabaikan kesendirian, dia memaksa diri untuk memperoleh ketenangan pikiran di dalam dan selanjutnya dia memahami artinya dengan kebijaksanaan. Bhikkhu seperti itulah yang hidup dekat dengan Dhamma.”
“Jadi, bhikkhu, aku telah mengajar tentang bhikkhu yang sibuk dengan penguasaan belajar, tentang bhikkhu yang sibuk mengajar, tentang bhikkhu yang sibuk mengulang, tentang bhikkhu yang sibuk merenung dan bhikkhu yang hidup dekat dengan Dhamma. Apa pun yang seharusnya dilakukan oleh guru yang penuh welas asih karena kasih sayangnya mencari kesejahteraan bagi para siswanya, itulah yang telah ku lakukan untuk kalian. Ini adalah akar-akar pohon, O bhikkhu, ini adalah gubukgubuk yang kosong. Bermeditasilah bhikkhu, jangan lalai, jangan sampai kalian menyesal nantinya. Inilah instruksi kepada kalian.” (Aṅguttara Nikāya V, 73 & 74).
Khotbah Buddha tersebut mengajarkan kita semua untuk menjadi orang yang berkualitas bukan hanya pada sisi intelektual semata, tetapi juga pada sisi batin. Banyak orang mengukur ke- berhasilan seseorang dari kemampuan intelektualnya bukan dari kualitas batin. Orang seringkali mengelu-elukan orang yang piawai dalam pengetahuan dan pembabaran Dhamma, padahal itu belum menjadi ukuran kualitas seseorang.
Dekat dengan Dhamma bukan karena seseorang memiliki pengetahuan yang banyak, dan pandai. Tetapi diukur dari kemampuan orang tersebut bisa mengubah karakter yang tidak baik menjadi baik. Untuk menjadi orang baik hendaknya seseorang mempraktikkan Dhamma. Dengan praktik Dhamma inilah, moral dan mental seseorang akan menjadi semakin baik. Banyak pengetahuan tentang Dhamma sangatlah baik, tetapi harus diingat Dhamma itu untuk direalisasi. Kalau kita hanya puas sampai di situ saja, maka tidak akan ada kemajuan, justru yang muncul adalah kekuatan ego, keangkuhan, dan kesombongan.
Teori vs Praktik
Ada sebagian orang menganggap bahwa teori jauh lebih penting jika dibandingkan dengan praktik. Kelompok yang lain menganggap bahwa praktik jauh lebih penting daripada teori. Jadi antara teori dan praktik manakah yang lebih penting? Di antara kedua hal tersebut, untuk lebih jelasnya, mari kita simak kisah Dhammapada syair 19 dan 20 supaya menjadikan kita lebih mengerti dan memahami Dhamma ajaran Buddha yang indah pada awalnya, indah pada pertengahannya dan indah pada akhirnya. Kisahnya sebagai berikut:
Suatu ketika terdapat dua orang sahabat yang berasal dari keluarga terpelajar, dua bhikkhu dari Savatthi. Salah satu dari mereka mempelajari Dhamma yang pernah dikhotbahkan oleh Buddha dan sangat pandai dalam menguraikan Dhamma tersebut. Dia mengajar lima ratus bhikkhu dan menjadi pembimbing bagi delapan belas kelompok bhikkhu tersebut.
Bhikkhu lainnya berusaha keras, tekun, dan sangat rajin dalam meditasi sehingga ia mencapai tingkat kesucian Arahat dengan pandangan terang analitis.
Pada suatu kesempatan, ketika bhikkhu kedua datang untuk memberi hormat kepada Buddha di Vihara Jetavana, kedua bhikkhu tersebut bertemu. Bhikkhu ahli Dhamma tidak tahu bahwa bhikkhu sahabatnya telah menjadi seorang Arahat. Dia memandang rendah bhikkhu itu, dia berpikir bahwa bhikkhu tua ini hanya mengetahui sedikit Dhamma. Maka dia berpikir akan mengajukan pertanyaan kepada sahabatnya, bahkan ia ingin membuat sahabatnya malu.
Buddha mengetahui tentang maksud tidak baik itu, Buddha juga mengetahui bahwa hasilnya akan membuat kesulitan bagi pengikut luhur seperti bhikkhu terpelajar itu. Dia akan terlahir kembali di alam kehidupan yang lebih rendah.
Dengan dilandasi kasih sayang, Buddha mengunjungi kedua bhikkhu tersebut untuk mencegah sang terpelajar bertanya kepada bhikkhu sahabatnya. Kemudian Buddha sendiri bertanya perihal “Penunggalan Kesadaran” (jhana) dan “Jalan Kesucian” (magga) kepada guru Dhamma, tetapi dia tidak bisa menjawab karena dia tidak mempraktikkan apa yang telah diajarkan.
Bhikkhu sahabatnya yang telah mempraktikkan Dhamma dan telah mencapai tingkat kesucian Arahat, dapat menjawab semua pertanyaan. Buddha memuji bhikkhu tua yang telah mempraktikkan Dhamma (vipassaka), tetapi tidak satu kata pujian pun yang diucapkan Beliau untuk bhikkhu yang terpelajar (ganthika).
Murid-murid yang berada di tempat itu tidak mengerti, mengapa Buddha memuji bhikkhu tua dan tidak sama sekali memuji kepada guru yang telah mengajari mereka. Karena itu, Buddha menjelaskan permasalahannya kepada mereka.
Pelajar yang banyak belajar tetapi tidak mempraktikkan sesuai Dhamma adalah seperti penggembala sapi, yang menjaga sapi-sapi untuk memperoleh upah, sedangkan seseorang yang mempraktikkan sesuai Dhamma adalah seperti pemilik yang menikmati lima manfaat dari hasil pemeliharaan sapi-sapi tersebut. Jadi orang terpelajar hanya menikmati pelayanan yang diberikan oleh murid-muridnya, bukan manfaat dari “Jalan” dan “Hasil Kesucian” (magga-phala).
Bhikkhu lainnya berpikir, dia mengetahui sedikit dan hanya bisa sedikit dalam menguraikan Dhamma, tetapi ternyata telah memahami dengan jelas inti dari Dhamma dan telah mempraktikkannya dengan tekun dan penuh semangat; adalah seseorang yang berkelakuan sesuai Dhamma (anudhammacari). Ia telah menghancurkan nafsu indra, kebencian, dan ketidaktahuan, pikirannya telah terbebas dari kekotoran batin, dan dari semua ikatan terhadap dunia ini maupun pada yang selanjutnya, ia benar-benar memperoleh manfaat dari “Jalan” dan “Hasil Kesucian” (maggaphala).
Kemudian Buddha membabarkan syair Dhammapada 19 dan 20 berikut ini:
Meskipun ia telah membaca banyak kitab suci,
namun tidak melaksanakan ajaran Buddha,
seperti gembala yang menghitung sapi orang lain,
maka ia tidak akan mendapat manfaat hidup dalam pasamuan para bhikkhu/pertapa.
Meskipun hanya membaca sedikit kitab suci,
namun ia melaksanakan Ajaran Dhamma dengan sungguh-sungguh,
melenyapkan pandangan keliru,
nafsu raga dan kebencian,
tidak melekat pada apapun dalam kehidupan ini maupun dalam kehidupan yang akan datang,
maka ia akan mendapat manfaat dari kehidupan dalam pasamuan para bhikkhu/pertapa.
Dari kisah Dhammapada tersebut, dapat disimpulkan bahwa teori tanpa praktik tidak akan membawa kemajuan. Untuk mencapai kemajuan dalam Dhamma, hendaknya kita sebagai umat Buddha selain bersemangat dalam belajar atau berteori Dhamma (pariyati), hendaknya juga bersemangat untuk melaksanakannya dalam keseharian kita (paṭipatti). Dengan demikian kita akan mendapatkan manfaat dari mempelajari dan melaksanakan Dhamma tersebut (paṭiveda). Kisah itu juga mengingatkan kita supaya sebagai orang yang pandai, terpelajar dalam Dhamma, pandai dalam menguraikan, mengajar, atau khotbah Dhamma (menjadi seorang Dhammaduta), hendaknya jangan sampai menjadi orang yang besar kepala atau sombong, merasa dirinya yang paling hebat dari pada orang lain.
Dengan pemahanam Dhamma yang diimbangi dengan praktik, maka seseorang akan maju dalam Dhamma, ajaran Buddha. Dalam hal ini, sama seperti seorang yang mempunyai sepasang mata untuk melihat peta, sehingga dia menjadi tahu dan mengerti jalan yang akan ditempuh menuju tempat tujuan. Akan tetapi tidak hanya itu yang perlu ia lakukan, ia juga harus melangkahkan kaki sesuai dengan jalur peta yang sudah diketahui itu sehingga akan mencapai tujuan.
Memiliki sepasang mata untuk melihat peta diibaratkan berteori Dhamma dan melangkahkan kaki sesuai dengan jalur peta yang sudah diketahui diibaratkan praktik Dhamma. Jika orang hanya mengetahui jalur peta menuju tempat tujuan tanpa mau melangkahkan kaki pada jalur peta itu, maka sampai kapan pun orang itu tidak akan pernah sampai tujuan. Demikian pula jika hanya terus melangkahkan kaki tanpa melihat peta, maka bisa menjadi salah jalan atau tersesat. Jadi antara teori dan praktik Dhamma haruslah seimbang, sehingga akan sampai pada tujuan, mendapat manfaat dan kemajuan setelah berteori dan mempraktikkannya.
Teruslah bersemangat dalam belajar Dhamma ajaran Buddha dan praktikkan apa yang sudah dipelajari. Senantiasa memiliki rasa malu berbuat jahat (hiri) dan takut akan akibatnya (ottappa). Tidak melakukan segala macam bentuk perbuatan jahat, senantiasa menambah kebaikan dengan pikiran, ucapan, dan perbuatan badan jasmani, berdana, menjalankan moralitas (sīla) de-ngan baik, meditasi dan mengembangkan kebijaksanaan, berusaha membersihkan kekotoran batin sendiri. Dengan demikian kita menjadi selalu dekat dengan Dhamma. Semoga semua makhluk hidup berbahagia.
Sebagai penutup, mari kita merenungkan pesan Buddha yang ada di dalam kitab suci Itivuttaka, 92 berikut ini:
Demikian telah dikatakan oleh Buddha …
“Wahai para bhikkhu, walaupun seorang bhikkhu me- megang lipatan jubahku dan berada di belakangku selangkah demi selangkah, tetapi jika dia tamak akan objek-objek nafsu keinginan, kuat nafsunya, berpikir dengki, kotor buah-buah pikirnya, tidak memiliki perhatian, tidak mengerti, tidak terkonsentrasi, pikirannya mengembara dan indranya tidak terkendali, maka dia berada jauh dariku dan aku jauh darinya.”
“Mengapa demikian? Bhikkhu itu tidak melihat Dhamma. Bila dia tidak melihat Dhamma, dia tidak melihat aku,”
“Wahai para bhikkhu, walaupun seorang bhikkhu hidup seratus league (1 league = 4,8 KM) dariku, namun bila dia tidak tamak akan objek-objek nafsu keinginan, tidak kuat nafsunya, tidak berpikiran dengki, tidak kotor buah-buah pikirnya, mantap perhatiannya, mengerti dengan jelas, terkonsentrasi, pikirannya memusat dan indranya terkendali, maka dia dekat denganku dan aku dekat dengannya.”
“Mengapa demikian? Bhikkhu itu melihat Dhamma. Dengan melihat Dhamma, dia melihat aku.”
Sumber bacaan:
- Aṅguttara Nikāya (Petikan). Klaten: Vihāra Bodhivaṁsa, 2003.
- Dhammapada Atthakatha. Yogyakarta: Insight Vidyāsenā Production, 2012.
- Itivuttaka. Bandung: Lembaga Anagarini Indonesia, 1998.