Pendidikan
Para ahli menjelaskan pengertian pendidikan dengan bermacam-macam cara sesuai dengan kapasitas pemahamannya masing-masing. Dalam GBHN tahun 1988, pendidikan diberi batasan pengertian sebagai proses budaya untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia.
Secara umum pendidikan terbagi menjadi dua jenis, yaitu pendidikan formal dan pendidikan non formal. Pendidikan formal adalah pendidikan yang diselenggarakan di sekolah-sekolah yang kemudian dikenal dengan istilah “pengajaran/pembelajaran”, dimana terjadi proses belajar dan mengajar yang melibatkan banyak faktor. Sedangkan pendidikan non formal adalah pendidikan yang berlangsung di luar sekolah (di rumah, di masyarakat, dsb).
Pendidikan di sekolah (Pengajaran) terdiri dari beberapa komponen, yaitu:
Guru atau pengajar, yaitu fasilitator dalam kegiatan pendidikan, sebagai pengendali, pemimpin dan pengarah pengajaran. Mereka bertanggung jawab untuk mengelola pengajaran sehingga berlangsung efektif , dinamis, efisien dan positif.
Siswa atau anak didik sebagai individu yang akan diolah menjadi out put melalui pendidikan. Siswa dituntut keaktifannya dalam proses pengajaran
Tujuan, yaitu kemampuan dan kelakukan yang diharapkan dikuasai siswa secara langsung setelah selesainya setiap interaksi belajar mengajar.
Bahan atau materi pengajaran yang perlu diberikan untuk mencapai tujuan. Bahan/materi pengajaran ini biasanya dikemas dalam bentuk kurikulum yang kemudian dijabarkan lagi menjadi bagian-bagian kecil sesuai dengan porsi anak didik.
Metode atau alat perlengkapan yang digunakan. Banyak metode yang digunakan dalam pengajaran, antara lain: metode ceramah, diskusi, tanya jawab, penugasan, drill/latihan siap, Problem Solving, Eksperimen, Demonstrasi, Karya Wisata, Kerja Kelompok, Simulasi, dll. Alat perlengkapan dalam pengajaran terdiri dari berbagai macam administrasi, alat peraga dan alat pengajaran.
Alat atau prosedur evaluasi untuk mengetahui tingkat keberhasilan dari program pengajaran. Evaluasi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan teknik tes ( tes hasil belajar, tes kecerdasan, tes bakat khusus, tes minat, tes kepribadian) dan teknik non-tes (pengamatan, wawancara, angket, hasil karya/laporan, karangan dan skala sikap).
Pendidikan dalam Agama Buddha
Sang Buddha adalah guru para dewa dan manusia (Satta Deva Manussanam). Sebagai guru, Sang Buddha mengajar para dewa dan manusia dengan menggunakan cara atau metode yang tepat. Dalam mengajar Sang Buddha selalu melihat keadaan batin para siswaNya. Jika keadaan batin para siswanya itu cukup bersih, maka beliau akan memberikan pelajaran Dhamma yang cukup tinggi seperti Cattari Ariya Saccani. Sebaliknya jika keadaan batin para siswanya tidak cukup bersih maka beliau akan memberikan pelajaran Dhamma yang ringan seperti Anupubbikatha. Dengan demikian para siswa Sang Buddha yang mau mendengar Dhamma dengan sungguh-sungguh akan dapat mengerti Dhamma dengan baik.
Pengajaran dalam agama Buddha juga mencakup pengertian yang sama dengan pendidikan umum yaitu merupakan interaksi antara guru dan siswa (belajar dan mengajar). Seperti yang dijelaskan dalam Sigalovada Sutta tentang lima kewajiban guru dan lima kewajiban siswa. Lima kewajiban seorang guru yaitu: melatih siswa sedemikian rupa sehingga ia terlatih dengan baik; membuat ia menguasai apa yang telah diajarkan; mengajar secara mendalam ilmu pengetahuan dan kesenian; berbicara baik tentang muridnya diantara sahabat dan kawan-kawannya; memperlengkapi muridnya demi keamanan dalam setiap arah. Sedangkan lima kewajiban murid adalah: bangkit dari tempat duduk mereka (memberi hormat); melayani mereka; dengan tekad baik untuk belajar; memberikan persembahan kepada mereka; dan memberikan perhatian sewaktu diberi pelajaran.
Metode atau cara Sang Budha dalam mengajarkan Dhamma terdiri dari berbagai macam, antara lain: metode ceramah (kotbah), metode tanya jawab, dengan perumpamaan-perumpamaan/contoh-contoh. Selain itu Sang Buddha selalu menganjurkan para siswanya untuk aktif, tidak menerima begitu saja ajaran yang diberikan melainkan dengan menyelidiki dan membuktikan sendiri apakah ajaran itu baik atau tidak (dalam Kalama Sutta).
Namun pada prinsipnya ada tiga cara Sang Buddha mengajar yaitu:
Beliau mengajar agar mereka yang mendengar dapat mengetahui secara mendalam dan melihat dengan benar apa yang pantas untuk diketahui dan dilihat.
Beliau mengajar dengan alasan-alasan, sehingga mereka yang mendengar dapat merenungkan (Dhamma) dan melihatnya dengan benar (bagi diri mereka sendiri).
Beliau mengajar dengan suatu cara yang luar biasa, sehingga mereka yang mengikuti ajarannya itu dapat memperoleh faedah-faedah sesuai dengan praktek mereka. (Dhamma Vibhanga I, 45)
Menurut kitab Mahayana, ada berbagai macam cara Sang Buddha dalam menerangkan Dharma, seperti:
Sutra: kotbah-kotbah Sang Buddha dalam menerangkan Dharma
Gatha: syair-syair kembar yang mengisahkan pujaan-pujaan.
Itivrttaka: mengisahkan kehidupan lalu para siswa.
Jataka: mengisahkan kehidupan Tathagata.
Adbhuta: mengisahkan kemukjizatan Sang Buddha serta para siswa.
Nidana: mengisahkan sebab akibat
Aupanya: dengan perumpamaan yang mudah untuk menerangkan hal-hal yang sukar dimengerti.
Geya: syair yang diucapkan untuk menyimpulkan apa yang telah diterangkan semula serta menitikberatkan artinya.
Upadesa: menerangkan hal-hal yang sukar dimengerti dengan cara tanya jawab.
Angutara Nikaya, III bab X terdapat penjelasan tentang bagaimana Sang Buddha mengajarkan Dhamam yaitu:
Sang Bhagava memanggil para Bhikkhu dan berkata : “ Para Bhikkhu, saya mengajarkan Dhamma dengan penuh pengertian atau pemahaman, bukan tanpa pemahaman. Saya mengajarkan Dhamma dengan penuh hubungan atau alasan, bukan tanpa hubungan atau alasan. Saya mengajarkan Dhamma dengan cara yang luar biasa, bukan tanpa keajaiban”. Sejak saya melakukan hal itulah, sebabnya kenapa saya akan mengingatkan atau mengajarkan. Inilah alasan tepat kenapa saya akan mengajar. Hal inilah yang mungkin akan membuatmu bahagia. Inilah yang akan memuaskan hatimu. Hal inilah yang akan membuatmu mencapai kebebasan, Penerangan sempurna dari Sang Buddha.
Jadi, dengan adanya bukti-bukti itu menunjukkan bahwa agama Buddha lahir dengan adanya pendidikan/pengajaran yang telah dipelopori oleh Sang Buddha. Proses pengajaran yang dilakukan tidak pernah bertentangan dengan prinsip pengajaran/pendidikan yang ada sekarang ini. Bahkan metode yang digunakan oleh Sang Buddha tetap relevan untuk dijalankan, meskipun harus dilakukan penyesuaian-penyesuaian karena kapasitas kemampuan manusia pada jaman sekarang berbeda dengan kualitas manusia pada jaman Sang Buddha.
Pengajaran pada jaman Sang Buddha juga memiliki komponen-komponen yang sama dengan komponen pendidikan sekarang, yaitu:
Guru, yaitu Sang Buddha dan para siswa utamanya.
Murid, yaitu para siswa Sang Buddha baik para pertapa/bhikkhu maupun umat perumah tangga dengan berbagai macam karakter dan latar belakang.
Tujuan, yaitu untuk membebaskan manusia dari kekotoran batin dan agar mereka mencapai pembebasan.
Materi atau bahan pengajarannya adalah Dhamma (Hukum Kesunyataan).
Metode atau alat perlengkapan adalah metode-metode yang digunakan Sang Buddha (seperti yang dijelaskan di atas).
Evaluasi, yaitu dengan cara pengamatan langsung secara fisik dan dengan kekuatan batinnya.
Belajar merupakan jalan satu-satunya untuk dapat membebaskan diri dari kebodohan. Sang Buddha juga menjelaskan pentingnya belajar dalam kehidupan manusia. “Orang yang tidak mau belajar akan menjadi tua seperti sapi; dagingnya bertambah tetapi kebijaksanaannya tidak berkembang” (Dhp. 152).
Namun, perlu diingat bahwa metode agama Buddha dalam mencapai kebenaran tertinggi – kebangkitan dari kebodohan untuk mencari pengetahuan penuh – tidak didasarkan pada kemajuan intelek akademis. Penerimaan ajaran itu dalam praktek yang menuntun para pengikut kepada penerangan sempurna dan tujuan akhir – Nirvana.
Sumber :
http://inspiration-of-freedom.blogspot.co.id/2011/11/konsep-pendidikan-dalam-agama-buddha.html