Namo tassa bhagavato arahato sammasambuddhassa.
Secara umum, kamma atau karma berarti perbuatan. Umat Buddha memandang hukum karma sebagai hukum kosmis tentang sebab dan akibat. Tidak ada sesuatu yang muncul tanpa sebab.
Dengan kata lain, tidak ada sesuatu atau makhlukyang muncul tanpa ada sebab lebih dahulu.
Rumusan agama Buddha tentang sebab akibat (Paticcasamuppada) adalah :
Dengan adanya ini, terjadilah itu. Dengan timbulnya ini, timbulah itu. Dengan tidak adanya ini, maka tidak ada itu. Dengan lenyapnya ini, maka lenyaplah itu. (Khuddhaka Nikaya, Udana 40)
Dalam 24 paccaya, kammapaccaya adalah cetana.
Cetana sama dengan kamma. Oleh sebab itu, Sang Buddha berkata, “Cetanaham, bhikkhave, kammam vadami.” (Wahai para bhikkhu, niat adalah yang Saya sebut sebagai kamma)
Bodhisatva memenuhi parami selama empat asan kheyya dan seratus ribu siklus dunia. Potensi-potensi tersebut mengikuti Beliau dari kehidupan sebagai petapa Sumedha hingga kehidupan sebagai Raja Vessantara. Pada kehidupan tersebut pa rami dan potensi Beliau telah rampung dan siap untuk menjadi Buddha.
Tidak hanya potensi yang baik, tetapi potensi yang buruk juga selalu mengiku kita. Setiap orang memiliki kusala dan akusala dalam sam?sa¯ra.
Kitab komentar memberikan perumpamaan benih sebagai kamma paccaya. Sebagaimana pohon yang tumbuh karena benih, tanpa benih, pohon tidak dapat tumbuh; demikian pula kusala (hal yang baik) atau akusala (hal yang tidak baik) memiliki cetana yang mendorong dirinya dan mendorong citta dan cetasika yang menyertainya untuk berhubungan dengan objek. Cetana ini disebut kamma. Contohnya, ketika saya menjelaskan Dhamma kepada anda, saya memiliki niat atau keinginan untuk membuat anda mengerti . Niat atau keinginan inilah yang merupakan cetana. Demikian pula, bagi mereka yang mempersembahkan dana makanan dan bagi mereka yang tidak mempersembahkan dana makanan adalah berbeda. Mereka yang mempersembahkan makanan memiliki keinginan untuk memasak yang enak, kemudian mempersiapkan makanan tersebut dengan baik dan mempersembahkannya kepada penerima dengan penuh hormat. Semua niat atau keinginan ini adalah cetana yang juga disebut kamma.
Terdapat 4 jenis Kamma berdasarkan urutan potensi yaitu :
1. Garuka kamma
Garuka kamma berarti “kamma berat”. Jika seseorang memiliki garuka kamma, maka ia pasti akan membuahkan hasil pada kehidupan setelah sekarang. Pada sisi kusala, jika seseorang mencapai jha¯na pada kehidupan ini dan dapat mempertahankan hingga kematiannya; ia pasti akan terlahir sebagai brahma pada kehidupan selanjutnya. Di sisi akusala, jika seseorang melakukan salah satu perbuatan jahat berikut : membunuh ibu, membunuh ayah, membunuh Arahat, membuat Sang Buddha berdarah, atau menyebabkan perpecahan Sangha, maka ia pasti akan terlahir di neraka avi¯ci pada kehidupan selanjutnya.
2. Asanna kamma
Kamma selanjutnya adalah asanna kamma (kamma yang paling dekat), yang bekerja saat menjelang kematian. Karena dosa, orang-orang saling membunuh dan mati, jadi kamma pembunuhan ini adalah a¯sanna kamma. Pada sisi yang baik, seorang guru atau kerabat yang baik melafalkan paritta untuk seseorang yang sekarat pada ranjang kematiannya dan membiarkan ia mendengarkan dhammadesana. Jika ia mengambil objek tersebut dan meninggal, maka kamma mendengarkan pelafalan paritta atau dhammadesana juga merupakan asanna kamma. Jika seseorang tidak memiliki garuka kamma dan 5 javana kamma yang di tengah dari banyak kehidupan lampaunya belum memiliki kesempatan membuahkan akibat, maka asanna kamma akan membuahkan hasil pada kehidupan selanjutnya.
Suatu saat, seekor katak mendengarkan Dhamma yang dibabarkan oleh seorang bhikkhu. Walaupun katak tersebut tidak mengerti Dhamma yang disampaikan, ia merasa sangat senang. Saat itu, seorang penggembala sapi menekannya dengan sebuah tongkat. Katak tersebut mati dan terlahir di alam dewa dikarenakan asanna kamma (kamma menjelang kematian ) membuahkan hasil.
Contoh lainnya adalah seorang anak laki-laki berusia sekitar 15 tahun yang sakit parah, ayahnya mengeluarkannya dari rumah karena khawatir jika putranya meninggal, banyak orang yang akan datang melayat dan mereka akan melihat harta kekayaannya. Walaupun sangat kaya, ia sangat kikir dan bukan seorang umat Buddha. Dengan nana (pengetahuan) Sang Buddha melihat anak laki-laki tersebut dan datang ke depan rumah mereka, Beliau mengirimkan cahaya pada anak laki-laki tersebut. Ketika ia melihat Sang Buddha, ia merasa sangat senang dan dia belum pernah melihat penampilan yang demikian agung, kemudian ia memberikan penghormatan kepada Sang Buddha dan setelah itu Sang Buddha pergi. Ia mengambil Sang Buddha sebagai objek dan meninggal, ia terlahir di alam dewa. Melihat Sang Buddha merupakan asanna kamma yang bekerja pada momen menjelang kematian.
3. Acinna kamma
Kamma selanjutnya adalah acinna kamma. Jika tidak ada garukakamma dan asanna kamma yang terlibat pada saat menjelang kematian, dan jika 5 javana yang di tengah dari banyak kehidupan lampau belum berkesempatan membuahkan akibat, maka a¯cinna kamma yang akan menghasilkan akibatnya. Acinna kamma adalah kamma kebiasaan selama hidup. Di sisi akusala, ada orang yang pekerjaannya membunuh hewan setiap hari untuk dijual. Ini merupakan kamma kebiasaan dan mungkin akan membuahkan hasil pada kehidupan selanjutnya. Di sisi yang baik, beberapa orang setiap hari memuja Sang Buddha dengan penuh penghormatan, mendermakan makanan secara rutin, mempersembahkan air dan bunga secara rutin, senantiasa mendengarkan Dhamma, selalu menjaga sila atau bermeditasi. Ini merupakan kamma kebiasaan mereka dan jika tidak ada kamma lain pada saat menjelang kematian, maka acinnakamma akan membuahkan hasil pada kehidupan mendatang.
4. Katata kamma
Mari kita lanjutkan pada kamma berikutnya yang disebut katatta kamma. Ada kusala atau akusala kamma yang terkadang jarang dilakukan dan segera dilupakan, ini disebut katata kamma. Jika tidak ada 3 jenis kamma di atas dan lima javana kamma tengah dari banyak kehidupan lampau belum berkesempatan membuahkan hasil, maka katata kamma mungkin dapat membuahkan akibatnya pada kehidupan berikutnya.
Bersamaan dengan kamma, kita juga perlu membahas akibat dari kamma (vipaka).
Vipaka tersusun dari kata “vi” dan “paka”. “Vi” artinya “ tidak sama” dan “paka” berarti “hasil atau akibat”. Apa yang tidak sama? Yang tidak sama adalah Kusala dan akusala. Kusala terbebas dari ketidakbaikan dan memberikan hasil yang baik. Akusala disertai ketidakbaikan dan memberikan hasil yang buruk. Vipaka merupakan hasil dari kusala dan akusala yang sifat dasarnya tidak sama.
Cara Sang Buddha mengajar tidak seperti yang lainnya. Contohnya, sehubungan dengan pana pata, Nigandanathaputta, petapa telanjang berkata, “Siapapun yang melakukan kamma panatipata akan masuk neraka”. Tetapi Sang Buddha tidak berkata demikian dalam hal pana tipata. Sang Buddha berkata, “Panatipato niraya samvattaniko” (Siapapun yang melakukan kamma panatipata, mungkin akan masuk neraka). Sang Buddha tidak mengatakan “pasti masuk”, tetapi Beliau mengatakan “mungkin masuk”. Walaupun demikian, jika kamma buruk yang dilakukan cukup berat sehingga dapat menghasilkan akibat pada kehidupan selanjutnya, maka orang tersebut akan terlahir di neraka dan mendapatkan akibat buruk seperti yang terjadi pada Devadata.
Sang Buddha membabarkan dalam Sankhadhamma Sutta mengenai cara untuk lolos atau menunda akusalakamma tertentu. Puthujjana mungkin melakukan akusala. Setelah melakukan akusala, maka ia tidak perlu merasa sedih yang berlebihan; hendaknya ia melakukan hal-hal sebagai berikut :
1. Mengetahui akusala yang telah diperbuatnya.
2. Mengetahui bahwa adalah salah melakukan hal tersebut.
3. Mengakui kesalahannya pada seorang guru atau teman.
4. Berusaha menahan diri agar tidak kembali melakukan kesalahan yang sama.
5. Terus melakukan perbuatan baik.
Dengan melakukan hal demikian, ia mungkin dapat menunda akibat dari akusalakamma yang telah diperbuatnya, tetapi ini bukanlah proses pembatalan. Bergantung pada kondisi-kondisi, sebuah kamma akan membuahkan hasil. Akusalakamma tidak dapat membuahkan hasil pada mereka yang memiliki kondisi- kondisi yang baik.
Dalam Lonakapalla Sutta, Sang Buddha memberikan perumpamaan jika segumpal garam dimasukkan dalam secangkir air, maka air tersebut akan menjadi terlalu asin untuk diminum. Jika jumlah garam yang sama dimasukkan ke sebuah danau atau sebuah sungai, maka rasa asin akan menghilang karena banyaknya air. Inilah yang disebut dengan kondisi yang baik.
Demikian pula, seseorang melakukan banyak perbuatan baik dan berbudi luhur, tetapi karena ia adalah seorang puthujjana, terkadang ia juga melakukan akusala. Sedangkan orang lainnya tidak bajik dan selalu melakukan akusala. Hasil atau akibat yang akan mereka terima tidak akan sama.
Seseorang yang tidak bajik tidak memiliki kondisi-kondisi yang baik, jadi jika ia selalu melakukan akusala, ketika akusala tersebut membuahkan hasil, ia akan menderita dalam jangka waktu yang lama.
Oleh sebab itu, kamma bukanlah sesuatu yang kita harus pasrahkan begitu saja, tetapi merupakan sesuatu yang harus kita ubah. Kita harus menggantikan yang buruk dengan yang baik. Setelah memahami kamma, jika kita dapat menghindari akusala dan berusaha melakukan kusala kamma, kita dapat pergi dari satu kehidupan yang baik menuju kehidupan baik lainnya.
Jika kita dapat mengikis kilesa¯ secara sepenuhnya, kamma–kamma tersebut baik yang baik maupun yang buruk, tidak akan dapat membuahkan akibatnya lagi dan kita akan mencapai Nibbana.
Sabbe satta bhavantu sukhitatta.
Semoga semua makhluk hidup berbahagia.
Sumber :
http://harian.analisadaily.com/mimbar-agama-buddha/news/kamma-dan-vipaka/271243/2016/10/06