- BeritaMusda I Sukses Membawa Dwi Sektiyono Cahyo sebagai Ketua, PERGABI DIY Siap Berkarya untuk Kemajuan Pendidikan Agama Buddha
- ArtikelMeditasi Pernafasan – Pendahuluan Anapanasati Pokok Meditasi oleh YM. Kasapa Thera
- AgendaSutrimo Pimpin PERGABI Kalimantan Utara: Komitmen untuk Pendidikan Agama Buddha yang Berkualitas
- ArtikelMusda I PERGABI Jawa Timur: Sunarto Terpilih Menjadi Ketua
- ArtikelMusda 1 Pergabi Kalsel: Narmin Resmi Terpilih sebagai Ketua Baru
- BeritaKonsolidasi PERGABI Kalimantan Barat: Subari, S.Ag Terpilih Menjadi Ketua dalam Musda I
- ArtikelPELAKSANAAN PROJEK PENGUATAN PROFIL PELAJAR PANCASILA (P5) PADA MATA PELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA BUDDHA DAN BUDI PEKERTI
Kisah-Kisah Hukum Karma dan Moral Ceritanya oleh YM. Bhikkhu Sikkhānanda
Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammāsambuddhassa
Penghormatan pada yang – Teragung,
Layak Mendapatkan Penghormatan dari Semua Makhluk,
Tercerahkan Secara Sempurna atas Usaha Sendiri.
Hukum Karma
Anda pasti tidak asing dengan kata Karma atau Hukum Karma, bahkan bukan hanya dalam percakapan sehari-hari kata Karma ini digunakan, tetapi juga tidak jarang kata Karma ini ditemukan pada berita media masa baik itu media elektronik maupun cetak. Tentu tidak asing bila kata Karma ini digunakan oleh umat Buddha dan Hindu; tetapi sekarang, kata Karma ini sering digunakan oleh umat agama yang lainnya juga. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah anda benar-benar memahami maksud dari kata Karma ini? Bila memang anda mengerti, maka penulis ucapkan sadhu untuk anda. Dalam Nibbedhika Sutta – AN 6.63, Sang Buddha mengatakan bahwa “cetanā (kehendak hati) adalah karma, karena melalui cetanā–lah seseorang melakukan perbuatan melalui pikiran, ucapan, dan jasmani.”
Apakah anda pernah merenung tentang hidup ini? Mengapa ada begitu banyak keanekaragaman dalam kehidupan ini? Ambil contoh saja keanekaragaman manusia, ada yang sehat – ada yang berpenyakitan, ada yang berumur panjang – ada yang berumur pendek, ada yang kaya – ada yang miskin, ada yang pintar – ada yang bodoh, ada yang cantik – ada yang jelek, dan yang lainnya. Ini baru sebagian kecil tentang perbedaan yang anda jumpai pada manusia, bila anda mencoba membuat daftar perbedaan pada semua makhluk, mungkin anda tidak akan pernah selesai membuat daftar tersebut. Pernahkah terpikir oleh anda mengapa ada begitu banyak perbedaan, apakah semua ini ada yang mengaturnya? Apakah ada suatu makhluk maha kuasa yang mengatur ini semua? Bila anda penganut Ajaran Buddha dan mempercayai hal yang disebutkan terakhir, maka anda mempunyai pandangan salah. Sang Buddha dalam Culakammavibhanga Sutta – MN 135 mengatakan bahwa semua ini disebabkan oleh Karma (perbuatan1) anda sendiri.
Untuk membuat tulisan ini agar lebih dapat mewakili Ajaran Buddha tentang Hukum Karma, maka 5 kisah yang berkaitan dengan Hukum Karma yang ditampilkan di sini, diambil dari 3 era yang berbeda. Yang pertama, berasal dari era ketika Sang Buddha masih menjadi calon Buddha (Bodhisatta); yang kedua dan ketiga, berasal dari era Sang Buddha; dan yang keempat dan kelima berasal dari era setelah wafatnya Sang Buddha. Dua kisah yang terakhir ini dapat juga dikatakan sebagai era saat ini, karena kisah ini terjadi di tahun 1900an. Renungkanlah baik-baik dan petik pelajaran berharga dari kelima kisah tersebut. Jadikanlah hal positif yang terkandung di dalamnya sebagai sesuatu yang dapat membantu anda untuk menjalani hidup ini dengan baik dan lurus.
Tulisan ini tidak membahas Hukum Karma secara mendetail, tetapi ditujukan sekedar hanya untuk mengenalkan atau memberikan gambaran tentang Hukum Karma. Penulis juga tidak berharap anda langsung mempercayai hal yang ditulis di sini karena hal itu tidak akan membuat anda mempunyai keyakinan yang kuat terhadap Hukum Karma ini. Dalam Ajaran Buddha, bukanlah hal yang salah apalagi murtad bila mempertanyakan sesuatu yang anda belum jelas, belum mengerti, atau masih ragu-ragu. Selain itu, Sang Buddha juga tidak ingin pengikutnya mempunyai keyakinan yang (membabi) buta. Keyakinan yang baik adalah keyakinan yang dilandasi oleh kebijaksanaan.
Sang Buddha mengungkapkan hal tersebut di Kalama Sutta “Instruksi kepada Kaum Kalama” – AN 3. 65, ini adalah ringkasannya.
“Adalah hal yang pantas untuk kamu merasa ragu, merasa tidak pasti; karena ketika ada keraguan, ketidakpastian akan muncul. Maka, Kaum Kalama, jangan percaya hal tersebut hanya karena: sering didengar atau berdasarkan laporan, merupakan legenda/desas-desus, merupakan sebuah tradisi, berada di kitab suci, dugaan berdasarkan logika, didapat berdasarkan kesimpulan, berdasarkan analogi/persamaan, cocok dengan pemikiranku, berdasarkan probabilitas/kemungkinan, atau berpikir bahwa ‘Bhikkhu tersebut adalah guru kita.’ Kaum Kalama, jika kamu sendiri mengetahui bahwa: ‘Hal ini adalah buruk, hal ini adalah tercela, hal ini dikecam oleh para bijaksana, ketika dipraktikkan dan diteliti – hal ini mendatangkan kerugian dan penderitaan, maka tinggalkanlah.”
“Adalah hal yang pantas…(sama seperti di atas)…. Kaum Kalama, jika kamu sendiri mengetahui bahwa: ‘Hal ini adalah baik, hal ini tidak tercela, hal ini dipuji oleh para bijaksana, ketika dipraktikkan dan diteliti – hal ini mendatangkan keuntungan/manfaat dan kebahagiaan, maka masuk dan berdiamlah di sana (jalanilah).”
“Para murid yang Mulia, Kaum Kalama, yang pikirannya bebas dari permusuhan, bebas dari niat jahat/kedengkian, bersih dan murni, adalah dia yang memiliki 4 kepastian di sini dan saat ini: ‘Seandainya ada kehidupan yang akan datang dan ada buah/hasil dari perbuatan baik atau buruk. Maka, adalah hal yang mungkin ketika meninggal, saya akan terlahir di alam bahagia, alam dewa/surga,’ Ini adalah kepastian pertama yang dia dapatkan. ‘Seandainya tidak ada kehidupan yang akan datang dan tidak ada buah/hasil dari perbuatan baik atau buruk. Tetapi di kehidupan ini, di sini dan saat ini, saya menjaga diri saya dalam ketentraman, bebas dari permusuhan, bebas dari niat jahat/kedengkian, dan masalah.’ Ini adalah kepastian kedua yang dia dapatkan. ‘Seandainya buah/hasil dari perbuatan buruk menimpa pelakunya. Tetapi, saya tidak melakukan perbuatan buruk, bagaimana hasil perbuatan buruk akan menimpa saya yang tidak melakukannya?’ Ini adalah kepastian ketiga yang dia dapatkan. ‘Seandainya buah/hasil dari perbuatan buruk tidak menimpa pelakunya. Maka, saya dapat memastikan diri saya murni dalam keadaan apapun.’ Ini adalah kepastian keempat yang dia dapatkan.”
Oleh karena itu, penulis mengundang anda semua untuk menyelidiki Ajaran Sang Buddha, bukan hanya tentang Hukum Karma. Semoga anda mendapatkan kebenaran sejati dalam hidup ini.
Kehidupan Masa Lalu Ānanda Thera
Di suatu masa yang lalu, calon bhante Ānanda Thera terlahir sebagai putri raja Aṅgati yang sangat berkuasa dari kerajaan Videha, ia bernama Rujā. Suatu hari, saat hari uposatha, raja berkumpul dengan para menterinya termasuk, Vijaya, Sunāma, and jenderal Alātaka. Raja menanyakan kegiatan apa yang sebaiknya mereka lakukan untuk melalui malam tersebut.
Kemudian, jenderal Alātaka berkata, “Mari kita pergi berperang, kita taklukkan daerah yang belum ditaklukkan.” Mendengar usulan tersebut, Sunāma berkata, “Semua musuh telah ditaklukkan dan perang tidak membuat saya puas, mari kita berpesta-pora.” Mendengar usulan Sunāma, Vijaya berkata, “Semua kesenangan selalu berada di sisimu, hal itu bukanlah sesuatu yang sulit didapat. Mari kita berkunjung ke brahmana untuk mendapatkan kebijaksanaan untuk mengusir keraguan kita.” Begitu raja menyetujui usulan ini, jenderal Alātaka berkata, “Di taman rusa ada seorang brahmana bijaksana bernama Guṇa Kassapa yang mempunyai banyak pengikut. Temui dia, Oh raja, dia akan menghapuskan keraguan kita.”
Kemudian, setelah semua persiapan selesai, mereka pun pergi ke tempat brahmana Guṇa Kassapa. Sesampainya di sana, setelah melakukan pertukaran salam, raja bertanya, “Bagaimana, Oh Kassapa, seseorang memenuhi kewajibannya kepada orang tuanya, guru, istri, dan anaknya? Bagaimana dia harus melayani para orang tua (yang telah berumur), para pertapa dan brahmana? Apa yang dia harus lakukan dengan tentara dan rakyatnya? Bagaimana dia harus menjalani peraturan yang akhirnya dapat membawanya ke surga? Bagaimana seseorang karena melakukan hal yang tidak baik dapat jatuh ke neraka? Mendengar pertanyaan tersebut, Kassapa menjawab, “Dengarlah, Oh raja, kebenaran yang sesungguhnya. Tidak ada hasil dari perbuatan baik dan buruk, tidak ada kehidupan yang lain; Oh raja, bila memang benar ada, siapa yang pernah kembali dari sana ke sini? Tidak ada yang namanya leluhur (nenek moyang), bagaimana bisa ada ayah dan ibu?
Tidak ada guru, siapa yang akan menaklukkan apa yang tidak bisa ditaklukkan? Semua makhluk adalah sama dan sederajat, tidak ada seorang pun yang harus memberi hormat atau menerima penghormatan. Tidak ada yang namanya kekuatan dan keberanian, bagaimana bisa ada semangat dan kepahlawanan? Semua makhluk sudah ditentukan nasibnya, bagaikan tali kapal yang harus mengikuti kapal. Semua makhluk mendapatkan apa yang harus mereka dapatkan, jadi apa gunanya berdana. Tidak ada manfaatnya, Oh raja; dalam berdana, pemberi dalam posisi tak berdaya dan lemah, pemberian dilakukan oleh si bodoh dan dinikmati oleh para bijaksana. Orang bodoh dan lemah berpikir bahwa dirinya bijaksana, makanya berdana ke para bijaksana. Ada tujuh hal yang tidak bisa dimusnahkan dan dicederai: api, tanah, air, angin, kebahagiaan, penderitaan, dan jiwa (roh). Mereka yang memenggal kepala orang lain dengan pedang yang tajam, tidak bisa memisahkan tujuh hal ini, jadi bagaimana mungkin ada akibat perbuatan jahat? Semua makhluk akan menjadi murni setelah melalui 84 mahā-kappa2, sebelum waktu itu tercapai apapun hal yang dilakukan, mereka tidak akan termurnikan. Jika mereka melakukan banyak kejahatan, mereka tidak akan dapat melewati batas waktu tersebut. Mendengar hal ini, jenderal Alātaka berkata, “Apa yang kau katakan terbukti pada diriku.
Saya di kehidupan yang lalu adalah pemburu bernama Piṅgala. Banyak perbuatan buruk yang saya lakukan di Benares; contohnya, saya membantai begitu banyak binatang seperti sapi, kerbau, babi, dan kambing. Setelah meninggal dari kehidupan tersebut, saya terlahir di keluarga kaya, keluarga seorang jenderal. Sesungguhnyalah, tidak ada akibat buruk dari perbuatan jahat, buktinya saya tidak terjatuh ke neraka.” Pada saat yang sama, kebetulan di sana juga ada seorang budak dengan pakaian rombeng yang bernama Bījaka, seorang yang rajin berpuasa. Ketika dia mendengar apa yang dikatakan oleh Guṇa Kassapa dan jenderal Alātaka, ia merintih dan menangis. Sang raja yang mendengar tangisannya tersebut bertanya, “Mengapa kamu menangis? Apa yang kau telah lihat dan dengar? Mengapa tidak kau katakan penderitaanmu padaku? Bījaka menjawab, “Saya tidak mempunyai penderitaan yang menyakitkanku. Dengarkan saya, Oh raja.
Saya juga dapat mengingat kehidupan masa lalu saya. Saya seorang bankir yang bahagia di kota Sāketa, menjunjung tinggi sila, bersih, suka berdana, dan dihormati oleh para brahmana dan orang kaya; tidak ada satu perbuatan buruk pun yang pernah saya lakukan. Tetapi ketika saya meninggal dari kehidupan tersebut, saya terkandung dalam rahim seorang wanita tuna susila yang miskin dan terlahir dalam kehidupan yang menyedihkan. Walaupun demikian, saya tetap menjaga pikiran saya dan mendanakan setengah porsi dari makanan saya kepada siapapun yang mengingikannya. Saya selalu berpuasa di setiap hari uposatha, tidak pernah menyakiti makhluk hidup, dan menghindari pencurian.
Tetapi, semua kebaikan yang saya lakukan ternyata tidak memberikan hasil; seperti yang telah dikatakan oleh jenderal Alātaka, maka saya pikir sila tidaklah bermanfaat. Saya kalah dalam permainan kehidupan ini, bagaikan pemain dadu yang tidak trampil; sedangkan jenderal Alātaka telah memenangkannya, bagaikan pemain dadu yang mahir. Saya tidak melihat jalan yang dapat membawa saya ke surga, karena itulah saya menangis ketika mendengar apa yang Guṇa Kassapa katakan. Setelah mendengar yang dikatakan Bījaka, raja Aṅgati berkata, “Tidak ada jalan ke surga, tunggu saja pada takdir. Apakah kamu akan terlahir bahagia atau menderita, semuanya hanya berdasarkan takdir. Semuanya akan mencapai kebebasan suatu saat dengan berjalannya waktu, tak perlu berharap tentang masa depan.
Saya juga telah beruntung di kehidupan sebelumnya dan setia/taat pada para brahmana dan orang kaya, tetapi ketika saya sibuk dengan segala kebajikan, saya tidak memiliki kesenangan. Setelah mengatakan hal tersebut, raja pun berpamitan, “Oh yang mulia Kassapa, selama ini saya telah lalai, tetapi sekarang saya telah menemukan seorang guru. Mulai saat ini, dengan mengikuti ajaranmu, saya hanya akan bersenang-senang, bahkan acara mendengarkan ceramah kebenaran pun tidak akan merintangiku (untuk menikmati kesenangan). Berdiamlah di tempatmu, saya akan pergi sekarang; kita mungkin akan bertemu kembali di kehidupan yang akan datang.” Sejak saat itu, raja Aṅgati tidak peduli lagi dengan tugastugasnya sebagai raja, dia hanya menghabiskan waktu untuk bersenang-senang. Suatu hari, satu hari sebelum hari uposatha, putri Rujā datang berkunjung kepada raja dengan diiringi oleh dayang-dayangnya. Putri Rujā memasuki istana Candaka bagaikan kilat menembus awan. Setelah mendekat, dia memberikan hormat kepada raja dan kemudian duduk di salah satu sisi, di sebuah kursi yang dihiasi oleh emas. Raja yang melihat putri Rujā dikelilingi oleh dayang-dayangnya, bagaikan rombongan para bidadari dari alam dewa, mengunjunginya berkata, “Apakah kamu menikmati dapat bersenangsenang di kolam yang berada di sekitar istana? Apakah para dayang membawakanmu makanan yang nikmat-nikmat? Apakah mereka mengumpulkan dan merangkai bungabunga untukmu?
Apakah ada sesuatu yang kau inginkan? Katakanlah dengan segera, mintalah apapun yang kau inginkan, walaupun itu sesuatu yang sulit didapat seperti bulan.” “Oh raja, dalam naunganmu setiap keinginanku terpenuhi. Besok adalah hari uposatha, izinkan mereka membawakanku seribu keping uang, yang akan kupersembahkan semuanya kepada para pertapa.” Mendengar hal itu, sang raja berkata, ”Telah banyak sekali harta kau habiskan dengan sia-sia dan tanpa hasil. Kamu berpuasa, tidak makan dan minum; pelaksanaan puasa adalah suatu hal yang berasal dari takdir, tidak ada jasanya walaupun kamu melakukannya. Selagi kamu tinggal bersama kami, Rujā, jangan danakan makanan ke yang lain; tidak ada kehidupan lain selain ini, mengapa membuat dirimu susah untuk sesuatu yang nihil?”
Dengan kecantikannya yang menawan, ketika ia mendengar yang dikatakan ayahnya, ia menjawab, “Saya telah mendengar hal ini di kehidupan sebelumnya dan melihatnya dengan kepala saya sendiri, dia yang mengikuti anak-anak menjadikan dirinya seperti seorang anak. Si bodoh yang berasosiasi dengan si bodoh juga, akan terjatuh ke dalam jurang kehancuran (semakin bodoh dan gila). Adalah hal yang lumrah bagi Alāta dan Bījaka untuk tertipu, tetapi ayah adalah raja yang punya pengetahuan yang luas, bijaksana, mahir dalam semua urusan; bagaimana ayah dapat terjebak ke dalam teori rendahan tersebut bagaikan seorang anak kecil? Jika seseorang akan termurnikan dengan berlalunya waktu, maka latihan pertapaan yang Guṇa Kassapa sendiri lakukan berarti sia sia. Bagaikan ngengat3 yang terbang menuju lilin yang menyala, si bodoh menjalani kehidupan ini dengan menjadi pertapa telanjang. Dengan menerima paham bahwa semuanya akan termurnikan dengan berlalunya waktu, dengan kebodohannya mereka melakukan banyak perbuatan jahat. Terikat oleh akibat perbuatan jahatnya sendiri, mereka mendapatinya sulit untuk membebaskan diri; bagaikan ikan yang tersangkut anak pancing (mata kail). Saya akan memberikan perumpamaan, Oh raja; kaum bijaksana terkadang belajar tentang kebenaran melalui perumpamaan. Bagaikan sebuah kapal niaga, menjadi berat karena dipenuhi muatan, akan tenggelam bila kelebihan muatan; begitu juga seseorang yang mengumpulkan karma buruk sedikit demi sedikit, suatu saat akan tenggelam (terjatuh) ke neraka. Tumpukan Karma buruk Alātaka saat ini bukan berasal dari yang sedang ia kumpulkan sekarang, oleh karena itu ia masih bisa berlayar dengan baik, tetapi dari sini dia akan terjatuh ke neraka. Di kehidupan sebelumnya Alātaka bertindak lurus dan benar, dan karena hasil perbuatan itulah ia sekarang menikmati kemakmuran. Jasa kebajikannya sekarang lagi ia digunakan, dan sekarang ia selalu cenderung pada kejahatan; keluar dari jalan yang lurus, ia sekarang berlari di jalan menuju kehancuran.
Seperti timbangan yang berada dalam posisi seimbang, salah satunya akan naik ke atas jika ada beban diletakkan. Begitu juga seseorang yang mengumpulkan jasa kebajikan sedikit demi sedikit akan membawa dirinya terangkat ke atas, seperti Bījaka yang cenderung melakukan kebajikan dengan tujuan mencapai surga. Penderitaan yang Bījaka terima sekarang adalah hasil dari perbuatan jahatnya di kehidupan sebelumnya. Karma buruknya sekarang sedang mencair (terkikis) karena ia mendedikasikan dirinya dalam kebaikan, jangan biarkan dia terperangkap pandangan salah Guṇa Kassapa. Siapapun teman yang seorang raja hormati, apakah ia baik atau buruk, berdedikasi pada kebaikan atau kejahatan, sang raja akan jatuh dalam pengaruhnya. Bagaikan mengikuti teman yang ia pilih sendiri, ia akan menjadi seperti temannya, itulah kekuatan pertemanan atau persahabatan. Seseorang yang terus-menerus berhubungan akan mempengaruhi temannya, rekannya; bagaikan anak panah yang dibubuhi racun mencemari tempat anak panahnya. Jangan biarkan para bijaksana menjadi teman seorang yang jahat karena alasan takut tercemar. Jika seseorang mengikat ikan yang berbau amis dengan sehelai rumput kusa, maka rumput tersebut akan menjadi bau; begitu juga akibat dari berasosiasi dengan si bodoh. Tetapi bila seseorang membungkus dupa dengan selembar daun, daun tersebut akan menjadi harum seperti dupa; begitu juga akibat berasosiasi dengan para bijaksana.
Oleh karena itu, jangan biarkan seorang yang bijaksana mengikuti orang jahat, tetapi anjurkanlah untuk mengikuti orang baik; karena orang jahat akan membawanya ke neraka dan orang baik akan membawanya ke surga. Sang putri, setelah memberikan perumpamaan ini, ia menceritakan kehidupan masa lalu dan masa depannya. Pertama, Ia menceritakan penderitaan yang harus ia jalani di kehidupan sebelumnya. Saya juga dapat mengingat 7 kehidupan sebelumnya yang telah saya lalui, dan ketika selesai menjalani kehidupan yang sekarang, saya juga akan melalui 7 kehidupan di masa yang akan datang. Di kehidupan ke-7 yang sebelumnya, Oh raja, saya terlahir sebagai anak laki-laki seorang pengrajin emas in kota Rājagaha di kerajaan Magadha. Saya mempunyai teman yang tidak baik dan saya juga banyak melakukan perbuatan jahat. Kami sering melakukan perselingkuhan dengan istri-istri orang lain dan berpikir bahwa kami akan hidup kekal/abadi. Hasil perbuatan buruk tersebut tetap tertutupi bagaikan api yang tertutupi oleh debu. Kemudian, atas dasar hasil perbuatan yang lain, saya terlahir di sebuah keluarga pedagang yang kaya raya dan makmur, yang berada di Kosambī di kerajaan Vaṁsa. Saya adalah anak laki-laki satu-satunya, maka saya selalu dijaga dengan baik dan dimuliakan. Di sana saya berasosiasi dengan kawan yang bijaksana, mempunyai pengetahuan yang luas, dan selalu mendedikasikan dirinya pada perbuatan baik. Dia membuat saya selalu berada dalam kebaikan. Saya berpuasa pada banyak kesempatan di setiap hari uposatha, hari ke 14 dan ke-15; dan hasil perbuatan itu tetap tersimpan bagaikan harta karun di dalam air, itulah kehidupan masa laluku yang ke- 6.
Di kehidupan yang ke-5, hasil perbuatan buruk yang kulakukan di Magadha akhirnya datang kepadaku bagaikan racun yang mematikan. Ia membawaku, Oh raja, terlahir di neraka Roruva. Untuk jangka waktu yang sangat lama saya berada di sana menerima hasil perbuatanku sendiri. Hal itu masih membuatku merasa sedih ketika saya teringat kejadian tersebut. Dari sana saya terlahir menjadi seekor kambing yang dikebiri di Bheṇṇākaṭa. Saya ditugasi menarik kereta anak laki-laki orang kaya di sana, atau kadangkadang dia langsung naik di punggung saya. Itulah akibat yang harus saya terima karena melakukan perselingkuhan dengan para istri orang lain. Itulah kehidupan masa laluku yang ke-4. Kemudian, di kehidupan masa laluku yang ke-3, saya terkandung di rahim seekor monyet di sebuah hutan yang besar. Di hari kelahiranku, sang ketua berteriak, “Bawa anakku kepadaku,” mereka pun membawa dan memperlihatkanku kepadanya. Begitu melihatku, dengan bengis dan kejinya dia menggigit buah zakarku dengan giginya, tanpa mempedulikan tangisanku karena kesakitan. Itulah akibat yang harus saya terima karena melakukan perselingkuhan dengan para istri orang lain. Putri Rujā mengatakan hal ini dalam bentuk syair. Kemudian pada kelahiranku yang berikutnya, yang ke-2, Oh raja, saya terlahir menjadi seekor lembu jantan diantara Dasaṇṇa. Saya dikebiri, walaupun demikian, saya menjadi lembu jantan yang gesit dan enak dipandang yang ditugaskan untuk menarik gerobak yang panjang. Itulah akibat yang harus saya terima karena melakukan perselingkuhan dengan para istri orang lain. Kemudian setelah meninggal, saya terlahir dalam sebuah keluarga di lingkungan masyarakat Vajjī4. Saat itu, saya tidak dapat dikatakan sebagai laki-laki ataupun perempuan. Adalah hal yang sangat sulit untuk dapat terlahir menjadi seorang laki-laki.
Hal ini juga merupakan akibat yang harus saya terima karena melakukan perselingkuhan dengan para istri orang lain. Oh raja, itulah kelahiranku yang ke-1. Kemudian, saya terlahir di taman Nandana sebagai seorang bidadari dengan warna kulit yang menawan di alam dewa tingkat ke-2 (Tāvatiṁsa), sebagai dayang-dayang di istana raja Sakka. Saya mengenakan baju dan perhiasan yang beraneka warna dan menggunakan anting yang bertahtakan permata, trampil dalam menari dan menyanyi. Ketika saya berada di sana, saya dapat mengingat semua kelahiran ini dan juga 7 kelahiran yang akan saya jalani setelah saya pergi dari sini (sebagai putri Rujā). Hasil perbuatan yang saya lakukan sewaktu terlahir di Kosambī telah tiba waktunya untuk berbuah; dan ketika saya meninggal dari kehidupan ini, saya hanya akan terlahir diantara para dewa atau manusia. Untuk selama 7 kelahiran, Oh raja, saya akan dihormati dan dipuja, tetapi sebelum kehidupan yang ke-6 berakhir, saya tidak akan terbebas dari kelahiran sebagai seorang wanita. Di kelahiranku yang ke-7 lah, Oh raja, akhirnya saya akan terlahir menjadi anak laki-laki yang hebat dari seorang dewa.
Bahkan saat ini, ada anak laki-laki seorang dewa, bernama Java, yang telah memulai mengumpulkan rangkaian bunga dari pohon-pohon surgawi yang berada di taman Nandana untuk saya. Enam-belas tahun yang telah saya jalani di kehidupan ini hanyalah sesaat di surga, seratus tahun di sini hanyalah satu hari di sana5. Dengan demikian, hasil dari tindakan kita akan terus mengikuti kita melalui kehidupan yang tidak terhingga, baik itu hasil yang baik atau buruk, tak ada satupun hasil perbuatan kita yang hilang. Kemudian putri Rujā mewartakan kebenaran yang sesungguhnya, “Dia yang menginginkan kehidupan yang semakin baik dari satu kelahiran ke kelahiran berikutnya, dia harus menghindari perselingkuhan dengan istri orang lain, bagaikan seorang laki-laki yang kakinya bersih dari lumpur. Dia harus memuja Buddha, bagaikan dayang-dayang yang memuja Sakka. Dia yang mengharapkan untuk dapat memiliki kehidupan, kenikmatan, kemegahan, dan kebahagiaan surgawi, dia harus menghindari kejahatan dan mengikuti kebenaran. Selalu waspada dan bertindak bijaksana baik itu melalui pikiran, ucapan, ataupun jasmani, baik ia terlahir sebagai seorang pria ataupun wanita. Siapapun dia yang terlahir di kehidupan ini dengan kemegahan dan diliputi kesuka-citaan, dapat dipastikan di kehidupan sebelumnya telah menjalani kehidupan yang mulia. Tidakkah kamu berpikir, Oh raja, apa yang menyebabkan kau memiliki istri-istri yang mirip bidadari, didandani dengan sangat cantik dan menggunakan jala emas?” Dalam cerita ini Vijaya adalah Sāriputta, Bījaka adalah Moggallāna, jenderal Alātaka adalah Devadatta, pertapa Guṇa Kassapa adalah Sunakkhatta (salah satu pangeran Licchavi), putri Rujā adalah Ānanda, raja Aṅgati adalah Uruvela-Kassapa, dan Mahā Brahmā Nārada Kassapa yang meluruskan pandangan salah raja Aṅgati adalah Buddha. Bagian Mahā Brahmā Nārada Kassapa belum muncul di penggalan kisah di atas.
Moral Cerita:
Perbuatan baik memberikan hasil yang baik dan perbuatan yang buruk memberikan hasil yang buruk. Bertemanlah dengan orang baik/bijaksana, hindari pertemanan dengan orang jahat/bodoh. Buah dari perbuatan akan berbuah saat kondisinya tepat. Bila kekuatan buah dari perbuatan baik sangat besar, maka walaupun sekarang banyak melakukan kejahatan, pelaku belum tentu mengalami penderitaan. Bila kekuatan buah dari perbuatan buruk sangat besar, maka walaupun sekarang banyak melakukan kebajikan, pelaku belum tentu mengalami kebahagiaan. Menjadi seorang lakilaki adalah hal yang sangat sulit, bila anda ingin menjadi seorang laki-laki, janganlah berbuat asusila. Satu lagi yang bisa dipetik dari kisah ini adalah, adanya alam kehidupan lain selain alam manusia, surga, dan neraka; adanya kehidupan sebelum dan sesudah kehidupan ini (kecuali untuk Arahat, ini adalah kehidupannya yang terakhir).
Cerita di atas adalah sepenggal kisah kehidupan masa lalu bhante Ānanda Thera yang diambil dari Jātaka no. 544, Mahā Nārada Kassapa-Jātaka (http://www.sacredtexts. com/bud/j6/j6010.htm). Naskah asli berasal dari Buku JATAKA Vol. VI., diterjemahkan oleh E. B. COWELL, M.A., dan W. H. D. ROUSE, M.A., LITTḌ., diedit oleh PROFESSOR E. B. COWELL, The Cambridge University Press, 1907
Hantu Bernama Mattā
“Kamu telanjang dan berpenampilan menyeramkan.” Hal ini dikatakan oleh Sang Buddha sewaktu beliau berdiam di Hutan Jeta sehubungan dengan hantu wanita bernama Mattā. Dikatakan bahwa di Sāvatthi ada seorang laki-laki kaya yang mempunyai keyakinan dan ketaatan/kesetiaan yang kuat terhadap Buddha, Dhamma, dan Sangha. Namun demikian, sang istri yang bernama Mattā, tidak mempunyai keyakinan maupun kesetiaan sama sekali. Selain itu, ia mandul dan mempunyai sifat pemarah. Suatu ketika, karena takut garis keturunannya terputus, maka ia mengambil seorang istri lagi dari suku yang sama, bernama Tissā. Ia mempunyai kesetiaan dan keyakinan pada Triratna, selain itu ia juga sangat sayang dan baik kepada suaminya. Tidak lama kemudian, ia pun hamil; dan setelah 10 bulan, melahirkan seorang anak laki-laki. Mereka beri nama Bhūta.
Tissā pun menjadi nyonya di rumah tersebut dan menjadi penyokong yang sangat baik dan perhatian terhadap 4 orang bhikkhu. Sang istri tua yang mandul kemudian menjadi cemburu padanya. Suatu hari mereka berdua mencuci rambut mereka dan kemudian berdiri dengan rambut yang masih basah. Sang suami sangat mencintai Tissā karena sikapnya yang mulia dan sering kali sambil berdiri berbicara padanya dengan penuh perasaan. Melihat mereka berdua berdiri, sang suami pun menegur Tissā dengan penuh perasaan. Melihat hal ini, Mattā yang tidak bisa menahan perasaan kesalnya karena merasa sangat cemburu, pergi menyapu lantai rumahnya dan menaburi kotoran dan sampah yang dia kumpulkan ke kepala Tissā. Dengan berjalannya waktu, Mattā meninggal dunia dan terlahir menjadi makhluk peta (hantu kelaparan) akibat kekuatan hasil dari perbuatan yang telah dilakukannya. Suatu hari ketika malam mulai menjelang, ia menampakkan dirinya ke Tissā yang saat itu sedang mandi di belakang rumahnya. Ketika Tissā melihatnya, Tissā bertanya kepadanya dalam bentuk syair: “Kamu telanjang dan berpenampilan menyeramkan; kurus dan pembuluhpembuluh darahmu/urat-uratmu nampak sangat jelas. Kamu kerempeng, tulang rusukmu menonjol; siapa kamu, kamu yang berdiri di sana?” Maka terjadilah tanya jawab diantara mereka berdua. Setelah ditanya oleh Tissā, Mattā pun menjawab, ‘Saya adalah Mattā, Kamu adalah Tissā.
Saya adalah istri pertama suamimu di kehidupan yang lalu. Akibat melakukan perbuatan jahat, saya meninggal dari alam manusia dan terlahir menjadi hantu kelaparan.’ Kemudian, Tissā bertanya kembali, “Sekarang katakan perbuatan jahat apa yang kau lakukan melalui pikiran, ucapan, dan jasmani? Sebagai akibat perbuatan yang mana yang membuatmu setelah meninggal dari alam manusia terlahir di alam hantu kelaparan? Ditanya demikian, Mattā menjawab, ‘Saya adalah seorang yang pemarah dan kasar, seorang pencemburu, jahat, dan licik. Karena mengucapkan kata-kata buruk kepadamu, setelah saya meninggal dari alam manusia, saya terlahir menjadi hantu kelaparan.’ Tissā berkata, “Saya juga mengetahui semua itu, betapa pemarahnya kamu; tetapi ada hal lain yang ingin saya tanyakan kepadamu, mengapa kamu dipenuhi/diselimuti oleh debu?” Mattā menjawab, ‘Suatu hari, setelah kamu telah mencuci rambutmu dan telah memakai baju yang bersih dan berdandan; tetapi saya juga demikian, bahkan dandanan saya melebihimu. Ketika saya melihatmu berbincang-bincang dengan suami kita, kamu menyebabkan timbulnya perasaan cemburu dan marah yang sangat kuat dalam diriku. Maka, saya mengumpulkan kotoran dan menaburinya ke kamu. Ini adalah akibat perbuatan tersebut, sehingga saya sekarang dipenuhi/diselimuti oleh debu.’
Tissā berkata, “Saya juga mengetahui semua itu, bagaimana kamu menuangkan debu tersebut kepadaku; tetapi ada hal lain yang ingin saya tanyakan kepadamu, mengapa kamu terserang gatal-gatal?” Mattā menjawab, ‘Suatu hari, kita pergi ke pinggir hutan untuk mengambil bahan obat-obatan dari tumbuhan. Kamu membawa pulang bahan obat-obatan dari tumbuhan yang baik untukmu sesuai yang dianjurkan tabib, sedangkan saya membawa pulang buah kapikacchu (sejenis buah yang dapat menyebabkan gatal bila tersentuh). Dan tanpa sepengetahuanmu, saya taburkan buah-buah tersebut di ranjangmu. Ini adalah akibat perbuatan tersebut, sehingga saya sekarang terserang gatal-gatal.’ Tissā berkata, “Saya juga mengetahui semua itu, bagaimana kamu taburkan buahbuah tersebut di ranjangku; tetapi ada hal lain yang ingin saya tanyakan kepadamu, mengapa kamu telanjang?”
Mattā menjawab, ‘Suatu hari, ada acara kumpul-kumpul bersama teman-teman dan sanak keluarga untuk menyambut sebuah perayaan. Kamu diajak oleh suami kita untuk menghadirinya, tetapi saya tidak. Kemudian, tanpa sepengetahuanmu saya mengambil (mencuri) pakaianmu. Ini adalah akibat perbuatan tersebut, sehingga saya sekarang telanjang.’ Tissā berkata, “Saya juga mengetahui semua itu, bagaimana kamu mencuri pakaianku; tetapi ada hal lain yang ingin saya tanyakan kepadamu, mengapa baumu tercium seperti bau kotoran?” Mattā menjawab, ‘Aku membuang minyak wangi, rangkaian bunga, dan krim pewangimu yang mahal ke toilet. Ini adalah akibat perbuatan tersebut, sehingga saya sekarang tercium seperti bau kotoran.’ Tissā berkata, “Saya juga mengetahui semua itu, bagaimana perbuatan jahat tersebut kau lakukan; tetapi ada hal lain yang ingin saya tanyakan kepadamu, mengapa kamu hidup dalam keadaan yang sangat menderita?” Mattā menjawab, ‘Harta apapun yang berada di rumah kita, kita berdua mempunyai hak yang sama atas harta-harta tersebut.
Walaupun ada kesempatan untuk melakukan kegiatan berdana, saya tidak melakukannya. Ini adalah akibat perbuatan tersebut, sehingga saya sekarang hidup sangat menderita.’ Setelah menjawab pertanyaan tersebut, ia berkata kembali, ‘Walaupun kamu telah memperingati saya untuk tidak melakukan perbuatanperbuatan buruk tersebut dengan berkata “Kamu sedang melakukan perbuatan-perbuatan buruk; sudah pasti bukan dengan melakukan perbuatan-perbuatan buruk kehidupan yang bahagia dapat dicapai” tetapi saya tidak mempedulikannya.’ Mendengar hal itu, Tissā berkata, “Saya mengatakan hal itu untuk kebaikanmu, tetapi kau menyalah-artikannya, karena saat itu kau sangat cemburu padaku. Berhati-hatilah, jaga dirimu dari segala hasil dari perbuatan-perbuatan buruk yang telah kau lakukan.”
Kemudian, ketika tanya jawab ini sedang berlangsung, Mattā melihat bekas suaminya pulang dan diapun berkata, ‘Aku telanjang dan berpenampilan menyeramkan; kurus dan pembuluh-pembuluh darahku/urat-uratku nampak sangat jelas. Keadaan ini sangatlah memalukan bagi seorang wanita. Jangan biarkan ayahnya Bhūta melihatku. Tissā berkata, “Baiklah, sekarang apa yang saya dapat berikan padamu atau apa yang saya dapat lakukan sehingga hal itu dapat membuatmu bahagia dan dipenuhi oleh semua yang kau inginkan?” Mattā menjawab, ‘Berdanalah pada 4 orang bhikkhu sebagai Sangha dan 4 orang bhikkhu sebagai individu. Jamulah kedelapan bhikkhu ini dan limpahkanlah jasanya kepadaku, dengan demikian saya akan bahagia dan dipenuhi oleh semua yang saya inginkan.’ Tissā berkata, “Baiklah, dia menyetujuinya.”
Setelah itu, Tissā memberitahukan apa yang telah terjadi kepada suaminya. Di keesokan harinya, setelah semua persiapan selesai dilakukan, suaminya menjamu delapan orang bhikkhu, memberikan mereka jubah dan kemudian ia dedikasikan kegiatan berdana tersebut untuk Mattā dengan melakukan pelimpahan jasa. Begitu pelimpahan jasa selesai, hasil dari berdana tersebut langsung terwujud bagi Mattā. Maka dia menjadi bersih, tampak segar dengan mengenakan gaun yang bersih dan indah – bahkan lebih indah dari gaun yang terbuat dari kain kāsi, dan dilengkapi dengan berbagai selendang dan perhiasan. Setelah mempunyai penampilan yang baru ini, dia menampakkan dirinya ke Tissā. Melihat seorang makhluk yang sangat cantik di hadapannya, Tissā berkata, “Kau yang berdiri di sana dengan kecantikan yang sangat menawan, menerangi semua penjuru bagaikan sebuah bintang pembawa berkah, hasil perbuatan apakah yang menyebabkan kau memiliki kecantikan yang sungguh menawan? Hasil perbuatan apakah yang menyebabkan kau memiliki apapun kesenangan yang sesuai dengan keinginan hatimu? Aku bertanya kepadamu Oh dewi yang maha agung, perbuatan berjasa apakah yang kau lakukan ketika kamu hidup sebagai manusia? Hasil perbuatan apakah yang menyebabkan kau memiliki kecantikan dan cahaya terang yang berkemilau menerangi segala penjuru?”
Mattā menjawab, ‘Saya adalah Mattā, Kamu adalah Tissā. Saya adalah istri pertama suamimu di kehidupan yang lalu. Akibat melakukan perbuatan jahat, saya meninggal dari alam manusia dan terlahir menjadi hantu kelaparan.’ Tetapi sekarang, berkat pelimpahan jasa yang kau berikan, saya menikmati kehidupanku, tidak ada lagi ketakutan. Semoga kau panjang umur saudaraku, bersama seluruh sanak saudaramu, semoga kau mencapai alam dewa (Paranimmita) Vasavatti (alam dewa tingkat ke-6, yang tertinggi) di mana tidak ada lagi kesedihan dan polusi (ini maksudnya bebas dari keringat dan kotoran).
Jalanilah hidup sesuai dengan Dhamma dan berdanalah sayangku, hilangkanlah noda dari keegoisan dan akarnya (yaitu keserakahan); semoga kau mencapai alam dewa. Tissā kemudian mengatakan kejadian ini kepada suaminya, suaminya mengatakan kejadian ini ke para bhikkhu, dan mereka memberitahukannya kepada Sang Buddha. Sang Buddha melihat bahwa hal ini perlu dijelaskan dan Ia pun mengajarkan Dhamma kepada semua orang yang sedang berkumpul di sana. Begitu mereka mendengar penjelasan Sang Buddha mengenai hal ini, mereka menjadi cemas dan berusaha menyingkirkan keegoisannya dan kekotoran mental yang lainnya. Mereka menjadi condong kepada praktik-praktik kebajikan seperti berdana, menjalankan sila, dan meditasi, yang semuanya akan mengkondisikan mereka menuju alam bahagia.
Moral cerita: Kisah Mattā, sang hantu kelaparan ini (peta), menggambarkan dengan jelas sekali bagaimana perbuatan jahat seseorang akan kembali kepadanya dan bermanifestasi sebagai penderitaan. Di sini dijelaskan bahwa praktik pelimpahan jasa dapat membantu makhluk peta untuk mendapatkan kebahagiaan. Seperti yang Mattā anjurkan kepada Tissā, sesungguhnyalah semua orang harus berjalan sesuai dengan Dhamma (Kebenaran), kembangkanlah praktik-praktik kebajikan. Untuk penjelasan lebih detil tentang kategori berdana kepada Sangha dan individu serta hasil yang didapatnya, dapat dibaca di buku DANA. Satu hal lagi yang bisa dipetik dari kisah ini adalah, adanya alam kehidupan lain selain alam manusia, surga, dan neraka; adanya kehidupan sebelum dan sesudah kehidupan ini (kecuali untuk Arahat, ini adalah kehidupannya yang terakhir).
Cerita ini terdapat di Kitab Sutta-Pitaka, Khuddaka Nikāya, Peta-vatthu II. 3, (Exposition of Mattā Petī Story). Namun cerita ini diambil dari kitab komentarnya, yaitu kitab komentar dari cerita makhluk peta (Paramattha-dīpanī nāma Petavatthu-aṭṭhakathā), Ubbarī Vagga no 3, hal. 89, oleh DhammaPāla, diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh U Ba Kyaw, diedit dan diberi catatan tambahan oleh Peter Masefield. The Pali Text Society, London, 1980. Printed by Unwin Brothers Limited, The Gresham Press, Old Woking, Surrey.
Istana Seorang Istri yang Setia
Sang Buddha menuturkan kisah ini ketika Beliau sedang berdiam di hutan Jeta yang didanakan oleh Anāthapiṇḍika di Sāvatthi. Ada seorang wanita yang tinggal di Sāvatthi, ia adalah seorang istri yang setia dan sikapnya sangat menyenangkan bagi suaminya. Ia juga memiliki kesabaran dan kemampuan melakukan tugas-tugasnya dengan baik. Dia tidak meledak-ledak walaupun ia sedang marah dan tidak pernah berkata kasar. Dia selalu berkata jujur, penuh keyakinan dan kesetiaan, dan sering berdana berdasarkan kemampuannya. Karena terkena penyakit tertentu, ia kemudian meninggal dan terlahir di alam dewa tingkat dua (Tāvatiṁsa).
Suatu ketika bhante Mahā Moggallāna berkunjung ke alam dewa tersebut, saat beliau melihat sang dewi sedang menikmati kesenangan dan kemasyhurannya, beliau mendatanginya. Dengan dikelilingi oleh 1000 dayang-dayang dan dipenuhi oleh perhiasan, dia memberi hormat kepada bhante Mahā Moggallāna dengan bersujud di kaki beliau dan kemudian berdiri di salah satu sisinya. Kemudian sang bhante bertanya kepada sang dewi tentang perbuatan berjasa apa yang telah dilakukannya dengan berkata:
- “Burung-burung surgawi (bangau, merak, angsa, dan kakak tua bersuara merdu) berterbangan di atas istana yang menakjubkan dan dipenuhi oleh bunga yang beraneka ragam, dan juga dilayani oleh dewa dan dewi.
- Kau dewi yang agung berdiam di sini dan menggunakan kekuatan super normalmu untuk mengganti-ganti penampilanmu ketika para bidadarimu menari, menyanyi, dan bersorak-sorai kepadamu.
- Kau telah mendapatkan kekuatan super normal dewa, Oh dewi yang agung. Perbuatan berjasa apakah yang kau lakukan ketika kau berada di alam manusia? Akibat perbuatan apakah sehingga kau bersinar begitu cemerlang dan mempunyai kulit yang memancarkan cahaya ke segala penjuru?”
Sang dewi merasa sangat senang ditanya demikian oleh bhante Mahā Moggallāna, dan dia pun menjelaskan perbuatan berjasa yang dilakukannya dengan berkata:
- “Ketika saya berada di alam manusia, saya adalah seorang istri yang setia, bahkan tidak pernah terpikir olehku tentang laki-laki lain. Seorang penyayang, bagaikan seorang ibu kepada anaknya; bahkan ketika marah, saya tidak berkata kasar.
- Teguh dalam kejujuran, meninggalkan kata-kata dusta, saya juga suka berdana dan berpembawaan ramah. Dengan hati yang penuh keyakinan saya mendanakan makanan dan minuman dengan cara yang layak, memberikan apa yang berlimpah.
- Akibat perbuatan itulah saya mempunyai kulit seperti ini, karena perbuatan itulah saya terlahir di sini dan bermunculannya semua kesenangan seperti yang saya dambakan.
- Saya katakan itulah, Oh bhante yang Agung, perbuatan berjasa yang telah saya lakukan ketika saya berada di alam manusia. Sekembalinya dari sana, bhante Mahā Moggallāna menghadap Sang Buddha; dan setelah beliau memberi hormat, beliau mengatakan tentang percakapannya dengan sang Sang Buddha melihat bahwa hal ini perlu dijelaskan dan Beliau pun mengajarkan Dhamma kepada semua orang yang sedang berkumpul di sana. Begitu mereka mendengar penjelasan Sang Buddha mengenai hal ini, mereka menjadi condong kepada praktik-praktik kebajikan seperti berdana, menjalankan sila, dan meditasi, yang semuanya akan mengkondisikan mereka menuju alam bahagia.
Moral cerita:
Penekanan kisah ini adalah perbuatan baik akan memberikan hasil yang baik pula, yang bermanifestasi sebagai kebahagiaan. Di sini dijelaskan bahwa dia tidak hanya berdana dengan cara yang benar, tetapi juga melaksanakan sila (jujur, tidak berbohong, dan tidak mengucapkan kata-kata kasar), dan mettā (ramah dan sebisa mungkin menjaga kemarahannya). Jadi, bila anda ingin mendapatkan kebaikan, anda harus melakukan kebaikan juga, laksanakanlah dana, sila, dan meditasi. Cerita ini terdapat di Kitab Sutta-Pitaka, Khuddaka Nikāya, Vimāna-vatthu I. 11, (Exposition of The Faithful Wife’s Vimāna). Namun cerita ini diambil dari kitab komentarnya, yaitu kitab komentar dari cerita makhluk peta (Paramattha-dīpanī nāma Vimānavatthuaṭṭhakathā), Pīṭha Vagga no 11, hal. 80, diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh Peter Masefield, dibantu oleh N. A. Jayawickrama. The Pali Text Society, London, 1989. Printed by Antony Rowe Ltd., Chippenham, Wiltshire.
Segenggam Beras Milik Nga Nyo
Nga Nyo dan Ba Saing adalah dua orang pemuda dari sebuah desa yang bernama Chaungyo, yang dihuni kira-kira 400 rumah. Desa ini terletak kurang-lebih 16 kilometer di sebelah Barat-Laut kota Taungdwingyi, Myanmar. Mereka adalah sepasang sahabat yang mencari nafkah dengan berjualan daun sirih. Suatu hari, setelah berjualan, dalam perjalanan pulang ke rumah, Ba Saing kekurangan beras. Maka ia meminjam segenggam/sedikit beras dari Nga Nyo untuk makan malamnya. Setelah makan malam, mereka melanjutkan perjalanan pulang ke rumah dengan hati yang riang di bawah sinar rembulan. Namun malang tidak dapat dihindari, Ba Saing digigit ular berbisa dan meninggal di tempat. Kejadian ini terjadi antara tahun 1908 – 1918, ketika mereka berdua kira-kira berumur 20 tahun.
Mungkin karena sedang berpikir bahwa dia telah meminjam beras pada temannya6 saat akan meninggal, dia terlahir sebagai ayam jago di rumah Nga Nyo. Setelah besar, Nga Nyo melatihnya untuk menjadi ayam aduan dan diikutkan ke sebuah kompetisi pertarungan. Di tiga pertarungan pertama, ayamnya dapat memenangkan pertarungan tersebut; tetapi di pertarungan ke-4, ia kalah karena mendapatkan lawan yang lebih tua dan kuat. Nga Nyo yang merasa kecewa dan marah atas kekalahan ayamnya tersebut, dia pegang kaki ayamnya dan kemudian membantingnya ke tanah. Ayam yang dalam keadaan sekarat tersebut sesampai di rumahnya, ia lemparkan ke tanah dekat tempat kendi air. Mungkin karena merasa simpati, sapi milik Nga Nyo mencium dan menjilat ayam tersebut. Ayam malang tersebut kemudian mati dan terkandung dalam rahim sapi tersebut.
Setelah anak sapi itu tumbuh cukup besar, dibeli oleh teman Nga Nyo seharga 4 Kyat7 untuk diambil dagingnya untuk sebuah pesta di mana Nga Nyo juga ikut menghadirinya. Ketika mereka sedang berusaha memotongnya, sepasang suami-istri dari kota Taungdwingyi, juru-tulis dan istrinya, kebetulan berada di sana dan merasa tidak tega melihatnya. Istrinya mengungkapkan simpatinya dengan berkata, “Jika seandainya itu adalah sapiku, saya tidak akan melakukan kekejaman padanya; bahkan jika ia meninggal secara alami pun, saya tidak akan tega memakan dagingnya, saya akan menguburkannya.” Setelah selang beberapa waktu, istri juru-tulis tersebut melahirkan seorang anak laki-laki. Anak laki-laki tersebut tidak mau bicara sampai berumur 7 tahun. Suatu saat ayahnya berkata pada anaknya, “Anakku, tolong katakan sesuatu dan bicaralah pada kami. Hari ini ayah gajian, ayah akan membeli dan membawakan beberapa baju bagus untukmu.”
Dia menepati janjinya, dan setelah membawakan baju-baju tersebut ke anaknya ia berkata, “Anakku, ini beberapa baju bagus untukmu, tolong bicaralah pada kami.” Kemudian anak itu berkata, “Segenggam beras Nga Nyo.” Ayahnya memberitahu, “Anakku, katakanlah pada kami, jangankan hanya segenggam, satu karung pun ayah akan ganti.” Sang anak berkata kembali, “Bila demikian, taruh satu karung beras di gerobak, kita akan pergi ke sana untuk menyelesaikan hutangku.” Ayahnya kemudian bertanya, “Ke mana kita akan pergi?” Anak tersebut kemudian meminta ayahnya untuk mengemudikan kendaraannya ke arah Barat-Laut kota Taungdwingyi dan akhirnya mereka sampai di desa Chaungyo. Begitu mereka akan sampai di desa tersebut anaknya berkata, “Itu dia, itu desanya.” Sang anak pun terus mengarahkan ayahnya untuk melalui jalan-jalan desa dan akhirnya mereka tiba di rumah Nga Nyo. Setelah mereka tiba, sang ayah pun mencari tahu jika rumah tersebut adalah benar rumahnya Nga Nyo. Pak Nga Nyo sendiri yang keluar dari rumah dan mengatakan bahwa memang benar ini adalah rumah miliknya. Begitu sang anak melihat Pak Nga Nyo keluar dan berjalan ke arah mereka, dia berteriak, “Hey Nga Nyo, apakah kau masih ingat aku?”
Pak Nga Nyo pun merasa tersinggung karena dipanggil namanya langsung oleh seorang anak kecil yang seumuran anaknya. Mengetahui situasi yang tidak baik ini, sang juru-tulis berkata, “Tolong jangan merasa tersinggung Pak Nyo, anakku ini sedang berada dalam keadaan yang aneh.” Setelah berada di dalam rumah, sang anak langsung menegur Pak Nyo kembali, “Nga Nyo, jadi kau sudah tidak ingat padaku? Dahulu kita bersahabat, kita berjualan sirih dengan berkeliling kampung. Suatu hari saya kekurangan beras dan meminjam segenggam beras darimu. Kemudian saya digigit ular dan meninggal sebelum sempat mengembalikannya padamu. Lalu saya terlahir menjadi seekor ayam jago di rumahmu.
Setelah memenangkan tiga pertarungan, saya kalah dipertarungan yang keempat karena lawanku ternyata lebih kuat. Karena marah akan kekalahan tersebut, kamu membantingku hingga sekarat. Dalam keadaan setengah-mati, sesampainya di rumah, kau melemparkanku ke tanah dekat kendi air dan kemudian sapimu datang menciumku. Saya pun terkandung dalam rahimnya dan terlahir sebagai anak sapi. Setelah tumbuh menjadi sapi muda, kau dan teman-temanmu membunuh dan memakanku. Saat itu seorang juru-tulis dan istrinya yang sekarang menjadi orang tuaku, datang dan mengungkapkan simpatinya. Setelah meninggal, saya terlahir kembali sebagai seorang laki-laki pada ayah dan ibuku saat ini. Sekarang saya datang untuk mengganti segenggam beras yang kupinjam darimu.” Mendengar semua kejadian yang dikatakan anak tersebut yang memang benar adanya, Pak Nyo pun menangis dan merasa sangat menyesal atas semua tindakan kejam yang telah dilakukannya kepada sahabatnya tersebut.
Moral cerita:
Pada cerita ini kekuatan Karma apa yang menyebabkan anak tersebut terlahir menjadi ayam, sapi, dan akhirnya menjadi manusia kembali, tidak dijelaskan seperti tiga cerita sebelumnya. Tetapi bila ditinjau dari hukum sebab akibat yang lainnya yaitu 12 faktor yang saling bergantungan sebagai hubungan sebab dan akibat (Paṭicca-Samuppāda), hal ini menjadi jelas. Dalam cerita ini, sangatlah jelas keinginan anak tersebut untuk membayar hutang beras yang dipinjamnya. Keinginan ini adalah kerinduan/pendambaan terhadap sesuatu (taṇhā). Bila ada taṇhā maka keinginan yang lebih kuat pun terjadi atau biasa dikatakan sebagai pencengkeraman (upādāna). Bila pencengkeraman terjadi, maka penjadian (bhava) muncul. Bila penjadian terjadi, maka akan timbul kelahiran (jāti). Karma berada di bhava. Di sini bhava terbagi menjadi 2, yaitu Kammabhava dan upapattibhava. Kammabhava inilah Karma. Karena ada keinginan (taṇhā), maka Karma pasti terjadi, dan Karma inilah yang akhirnya membuat si anak tersebut terlahir kembali. Dalam Ajaran Buddha untuk dapat mempunyai pemahaman yang baik tentang hukum sebab akibat, anda harus memahami tiga hal yaitu: Hukum Karma, Paṭicca-Samuppāda, dan Paṭṭhāna (24 macan pengkondisian). Jadi dengan penjelasan di atas, maka dapat di lihat di sini bahwa kekuatan Karma anak tersebutlah yang membawanya terlahir menjadi ayam, sapi, dan akhirnya menjadi manusia kembali. Hal ini seperti dalam kisah calon bhante Ānanda yang terlahir menjadi kambing, monyet, dan lembu jantan karena kekuatan Karmanya. Cerita ini berjudul “NGA NYO’S SMALL MEASURE OF RICE,” diambil dari buku Dhammacakkapavatthana Sutta karangan Mahāsi Sayādaw, halaman 245 (buku elektronik dari www.Buddhanet.net), diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh U Ko Lay, diterbitkan oleh SukhiHotu Dhamma Publication, Malaysia.
Wanita Dengan Dua Tubuh
Ini adalah kisah kehidupan seorang wanita yang mendanakan sebuah ruangan (kuti) meditasi di vihara Ambhavan, Tambol Ban Paeng, Amphur Promburi, Propinsi Singhburi, Thailand, tempat tinggal Phra Rājvisuddhiñāṇamongkol. Inilah kuti meditasi pertama yang pernah di bangun di vihara tersebut dan kisah inilah yang membuat Phra Rājvisuddhiñāṇamongkol untuk memulai pembangunan kuti-kuti meditasi di viharanya. Kisah ini terjadi sekitar tahun 1957 – 1960. Judul asli kisah ini adalah “The Lady with Two Bodies” diambil dari buku The Law of Karma – Dhamma Practice 1, karangan Phra Rājvisuddhiñāṇamongkol, halaman 56, diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh DR. Suchitra Ronruen, 1987. Wanita ini bernama Sa-ing, istri dari Bapak Pune. Mereka tinggal di Amphur Ta-tako, propinsi Nakornswan. Bapak Pune adalah seorang pria yang mempunyai hati yang baik dan mulia. Sebelum Ia menikah dengan Sa-ing, ia telah menjalani kehidupan sebagai seorang bhikkhu selama 2 atau 3 vassa8. Selain telah berlatih meditasi, ia juga dapat melafalkan Pāṭimokkha sila (227 sila untuk para bhikkhu). Bapak Pune suka melafalkan paritta dan melakukan penghormatan pada Triratna (Buddha, Dhamma, dan Sangha), tetapi Sa-ing adalah seorang wanita yang licik, suka berbohong, suka menipu, suka mencuri, dan kasar. Di salah satu foto pernikahannya, ia terlihat memakai kain sarung dan sebuah kain melingkari daerah dadanya, rambutnya pendek, dan sebuah kalung besar menghiasi lehernya.
Ia seorang wanita yang bertubuh kurus, telinganya hitam, wajahnya penuh dengan bintikbintik, dan terlihat seperti jin. Kemana pun ia pergi, ia akan mencuri sesuatu. Pada suatu hari, ia pergi ke sebuah pesta salah satu keponakan laki-laki Pune yang akan ditahbiskan menjadi seorang bhikkhu. Di sana ia mencuri emas dan menuduh salah satu kerabat Pune yang miskin sebagai pencurinya. Mereka memukulinya hingga rahangnya patah dan memakinya sebagai pencuri. Walaupun pencuri sebenarnya adalah Sa-ing, tetapi tidak ada satu orang pun yang percaya akan hal itu. Hal ini dikarenakan Sa-ing adalah orang kaya. Ini adalah salah satu contoh betapa buruk pikirannya. Dia telah melakukan banyak sekali Karma buruk.
Bukan hanya itu, Sa-ing juga tidak dapat melafalkan paritta karena ia tidak bisa membaca. Jika mereka harus membacakan paritta, maka Pune lah yang melakukannya untuk mereka berdua. Pune adalah seorang suami yang sangat baik dan ia tidak akan melihat istrinya dari sisi negatif. Ia juga tidak akan mengkritik istri dan anakanaknya. Bapak Pune dan Ibu Sa-ing adalah keluarga petani. Mereka mewarisi tanah pertanian yang luas (ratusan rai9) dari orang tua mereka yang merupakan petani yang rajin. Pune mempunyai sebuah rumah kembar bergaya tradisional Thailand dan sebuah rumah lagi yang ia bangun untuk merayakan pernikahannya.
Mereka mempunyai dua orang anak dan memiliki semua yang mereka butuhkan. Setiap tahun mereka menanam padi, karena tanahnya begitu luas, mereka mempekerjakan lima orang buruh yang berasal dari daerah bagian Utara Thailand. Mereka juga membuat sebuah bangunan kecil di tengah-tengah ladangnya. Bila musim panen tiba, Pune akan menemani ibunya di rumah utama dan Sa-ing pergi ke sawah sampai masa panen berakhir. Saat itu, mereka mempergunakan gerobak yang ditarik oleh lembu untuk membantu mereka membawa hasil panennya. Mereka menggunakan alat penumbuk untuk mengupas kulit gabahnya dan kemudian menampinya untuk memisahkan kulit gabah dan berasnya. Sebelum melakukan proses penumbukan, Saing memerintahkan pegawainya untuk mencuri gabah tetangganya dan mencampurnya dengan gabah miliknya. Dia benar-benar wanita yang licik dan jahat. Tidak ada seorang pun yang menduganya, karena mereka adalah salah satu orang terkaya di desa tersebut, mereka yang biasa meminjamkan uang ke petani lainnya. Pune tidak mengetahui bahwa istrinya adalah seorang pencuri.
Di tahun terakhir kehidupannya, ia selalu membawa sepasang rantai pinggang yang terbuat dari emas dengan berat delapan baht satunya, yang ia dapatkan sebagai hadiah pertunangannya. Saat itu adalah masa panen dan ia sedang mengandung. Suatu hari, ia merasa gelisah dan mempunyai firasat bahwa di tahun itu sesuatu yang buruk akan terjadi, ia merasa akan jatuh sakit. Tetapi ia tetap memutuskan untuk pergi ke sawah untuk memanen dan menjual hasil panenannya. Selama berada di bangunan kecilnya, ia mempunyai firasat bahwa pegawainya akan mencuri rantai pinggang emasnya. Karena ia pikir bahwa jika ia simpan di rumahnya, rantai pinggang tersebut tidak akan aman, maka ia menguburnya di bawah bangunan kecil tersebut. Seperti pada masa-masa panen tahun sebelumnya, ia menyuruh pegawainya untuk mencuri gabah dari sawah tetangga sebelum melakukan proses penumbukan. Tetapi, sebelum sempat melakukan proses penumbukan, perutnya merasa sakit karena ia akan melahirkan.
Itulah hari terakhir baginya, Sa-ing meninggal bersama bayinya saat ia sedang dalam proses melahirkan. Sebagai seorang suami yang baik, Pune mengurus semua proses penguburannya dengan baik. Bapak Pune sangat kehilangan istri dan anaknya. Setelah masa panen selesai, sebagian hasil panen beras tersebut dijualnya dan sebagian lagi ia danakan untuk membuat “cetiya of sand” yang ia didedikasikan kepada istri tercintanya, Sa-ing. Sa-ing yang terjatuh ke neraka terus mengumpulkan Karma baik dengan melakukan pelafalan paritta dan penghormatan kepada ke Triratna. Penjaga neraka memberitahunya bahwa suaminya telah mendanakan sebagian hasil panen beras yang mereka lakukan bersama dengan membuat “cetiya of sand” dan mendedikasikan jasanya kepadanya. Berkat hasil pelimpahan jasa ini dan prilaku baiknya selama di neraka, masa kehidupan yang ia harus jalani di neraka dikurangi selama 20 tahun, menjadi hanya 80 tahun. Kemudian, setiap kali Bapak Pune melihat rumah yang ia dirikan untuk menyambut pernikahannya, ia selalu terkenang akan istrinya.
Maka, ia memutuskan untuk mendanakan rumah tersebut kepada sebuah vihara untuk digunakan sebagai kuti. Ketika kepala vihara menyetujui idenya, dia pun melakukan proses rekonstruksi rumah tersebut menjadi sebuah kuti bergaya Thailand. Setelah semuanya siap, untuk merayakannya ia mengundang sekelompok penyanyi Mor Lum dan melakukan pertunjukan wayang kulit. Pada hari itu, semua orang di desanya mendengar perbuatan berjasa yang dilakukannya. Setelah perayaan selesai, secara resmi ia serahkan kuti tersebut kepada Sangha dari empat penjuru sebagai Sangha dana, bukan didanakan kepada seseorang atau sekelompok bhikkhu tertentu10. Setelah melakukan dana ini, ia limpahkan jasanya kepada istrinya.
Berkat hasil pelimpahan jasa ini, masa kehidupan yang istrinya harus jalani di neraka dikurangi lagi selama 20 tahun, menjadi hanya tinggal 60 tahun. Setelah selang beberapa tahun, Bapak Pune merenungkan tentang hidupnya. Ia menyadari bahwa sekarang anak-anaknya telah dewasa dan ia juga membutuhkan seorang pendamping. Tetapi sebelum ia menikah kembali, ia ingin memberikan pelimpahan jasa yang besar untuk almarhumah istrinya. Maka ia putuskan untuk menjalani kehidupan sebagai seorang bhikkhu untuk 1 masa vassa (3 bulan).
Setelah berdiskusi dengan kepala vihara tempat dia ditahbiskan, kepala vihara tersebut berkata, “Kamu tidak perlu belajar Pāṭimokkha, karena kamu telah mempelajarinya. Jalani latihan kehidupan keras kebhikkhuan (dhutānga11).” Ia kemudian tinggal di kuburan dan hanya makan sekali sehari. Selain itu ia juga berlatih latihan meditasi vipassanā untuk mengumpulkan jasa kebajikan yang akan ia limpahkan kepada istrinya. Sampai saat itu, ia tidak tahu di mana istrinya terlahir, di neraka atau di surga. Setelah menjalani kehidupan kebhikkhuan selama 3 bulan, ia memutuskan untuk lepas jubah dan mendedikasikan semua jasa kebajikan yang dikumpulkannya kepada istrinya. Kemudian ia menikah kembali dengan seorang wanita yang berusia 6 tahun lebih muda darinya. Penjaga neraka memberitahu istrinya, Sa-ing, bahwa suaminya telah menjadi bhikkhu dan berlatih meditasi vipassanā. Ia melimpahkan semua jasa kebajikan tersebut kepadanya, sehingga masa kehidupan nerakanya dikurangi lagi sebanyak 40 tahun, jadi hanya tinggal tersisa 20 tahun.
Sisa 20 tahun ini tidak bisa dikurangi lagi karena ia telah banyak sekali melakukan perbuatan buruk, diantaranya adalah mencuri emas – kemudian menuduh orang lain sebagai pelakunya dan Karma terberat adalah mencuri gabah tetangga. Dua hal ini tidak bisa dimaafkan. Tetapi, karena ia telah bertindak baik, melafalkan paritta, melakukan penghormatan pada Triratna, dan berlatih meditasi selama berada di neraka; mereka (penguasa neraka) menawarkan pilihan kepadanya untuk menjalankan sisa 20 tahun tersebut. Mereka memperkenankannya untuk kembali ke alam manusia selama 20 tahun untuk membalas jasa kepada suaminya dan tidak perlu kembali ke neraka lagi dengan 2 syarat. Pertama, ia harus menjalankan 8 sila setiap hari uposatha, dan syarat yang kedua adalah ia harus membuat sebuah kuti meditasi seharga 80 baht, tidak kurang tidak lebih. Bila ia tidak dapat memenuhinya, maka ia harus kembali ke neraka. Ia pun menyetujui hal ini. Ia kemudian terlahir di sebuah rumah yang kurang lebih berjarak 2 kilometer dari rumah Pak Pune, sebagai seorang anak wanita di sebuah keluarga Tionghoa yang telah menikah selama 15 tahun.
Ketika ia berumur 11 tahun, ia dapat mengingat kehidupan masa lalunya dan berkata kepada ayahnya, “Saya bukan anakmu, Saya adalah Sa-ing, istrinya Pune dari desa sebelah.” Ayahnya tidak mengerti apa yang dimaksud oleh anaknya tersebut dan memutuskannya untuk membiarkannya sendiri sehingga anaknya dapat melupakan hal tersebut. Sang ayah tidak tahu apakah yang dikatakan anaknya itu benar atau salah. Ia memberikannya telur yang telah jatuh dari sarangnya dan telur calang agar anaknya dapat melupakan hal tersebut, tetapi usaha tersebut tidak membuahkan hasil. Ketika ia berusia 15 tahun, ia tidak dapat menahan keinginannya lagi, ia meminta ayahnya untuk mengantarkannya ke rumahnya Pune. Ia sekarang menjadi seorang gadis yang cantik dengan kulit yang halus dan putih karena ayahnya adalah seorang keturunan Tionghoa, tidak seperti Sa-ing sebelumnya. Ketika ia sampai di rumahnya Pune (saat itu Pune berusia 78 tahun), ia berkata, “Pune, tidakkah kamu ingat padaku? Ini Sa-ing!” Pune berpikir ini mungkin rencana ayahnya untuk menguras kekayaannya, karena ia adalah orang kaya.
Ayah Sa-ing bukanlah orang kaya, tetapi ia dapat hidup berkecukupan dan nyaman dengan berdagang beras. Sa-ing tetap berusaha memberitahunya tetapi Pune tidak mempercayainya. Sa-ing kemudian mengatakan beberapa kejadian yang pernah mereka lakukan dan lalui bersama. Dia berkata, “Pune, apakah kamu ingat, ketika aku hidup bersamamu, kita pergi ke perayaan penahbisan keponakan laki-lakimu? Akulah yang mencuri emas tersebut dan menuduh saudaramu yang miskin. Aku baru mengerti hal ini di kehidupan ini.” Akan tetapi Pune tetap tidak mempercayainya, dan berkata dalam hati bahwa hal ini bisa saja karangannya. Kemudian Sa-ing menceritakan hal berikutnya, “Pune, ketika saya meninggal saat melahirkan anak kita, saya terlahir di neraka dan harus menjalani kehidupan di sana selama 100 tahun. Kamu mendanakan sebagian beras hasil panen kita ke vihara untuk membuat “cetiya of sand.” Berkat hal itu, aku mendapatkan pengurangan hukuman.
Kemudian kamu mendanakan rumah kita ke vihara. Saya mengetahui bahwa hari itu kamu menyewa sekumpulan penyanyi Mor Lum dan menggelar pertunjukan wayang kulit untuk merayakannya.” Yang berikutnya adalah Sa-ing mengatakan tentang bagaimana Pune menjadi bhikkhu, berlatih meditasi vipassanā, dan melimpahkan jasanya untuknya. “Saya menerima pelimpahan jasa yang kau lakukan dan hukumanku semakin diperingan. Selain itu, kelahiranku ini adalah hasil dari keringanan tersebut, tetapi sisanya yang 20 tahun tidak bisa diperingan karena saya telah melakukan banyak Karma buruk, diantaranya adalah mencuri emas dan gabah dari ladang tetangga. Dua tindakan ini tidak bisa dimaafkan, jadi saya harus kembali tinggal bersamamu untuk membalas jasamu. Saya juga telah berjanji kepada penjaga neraka untuk melaksanakan 8 sila setiap hari uposatha dan membuat kuti meditasi seharga 80 baht.” Walaupun telah banyak hal yang didengarnya dari mulut Sa-ing, tetapi Pune masih belum mempercayainya. Kemudian Sa-ing yang telah terlahir dan tumbuh menjadi sebagai gadis belia bertanya padanya, “Pune, apakah perhiasan emas sebagai hadiah pertunangan kita masih ada di sini?” ‘Emas apa?’ “Dua rantai pinggang emas yang masing-masing seberat 8 baht.” Pune sudah tidak ingat lagi, maka ia katakan bahwa rantai pinggang emas tersebut sudah tidak ada.
Lalu Sa-ing bertanya lagi, “Pune, apakah bangunan kecil di tengah sawah kita masih ada?” Bangunan itu telah tidak ada, karena tanahnya sudah dibagi-bagi ke anakanak kita, dan mereka sudah menikah sekarang. Sa-ing teringat sebuah pohon dan menanyakannya ke Pune, “Apakah pohon kratum masih ada di sana?” Ya, masih ada. Mereka pun memutuskan untuk pergi ke sana yang jauhnya beberapa kilometer dengan berjalan kaki. Pada akhirnya mereka menemukan rantai pinggang emas tersebut, dan Pune pun akhirnya percaya bahwa gadis tersebut adalah Sa-ing. Dan sejak hari itu, Sa-ing tinggal bersama Pune dan tidak kembali ke rumah keluarganya. Mereka tinggal bertiga, saat itu Pune berusia 78 tahun, istri mudanya berusia 72 tahun, dan Sa-ing yang memasuki usia 16 tahun. Suatu hari mereka bertiga sepakat untuk mendirikan kuti meditasi dan pergi mencari vihara yang tepat. Di perjalanan mereka bertemu sanak keluarga dari Sume yang memberitahukan mereka untuk pergi ke vihara Ambhavan, dan pada saat itu Phra Rājvisuddhiñāṇamongkol baru saja pindah ke vihara tersebut. Inilah pertemuan mereka untuk pertama kalinya.
Setelah didiskusikan dan disetujui, proses pembangunan kuti meditasi tersebut pun langsung dilaksanakan. Kuti meditasi tersebut didirikan di sebelah gedung uposatha. Sa-ing meminta agar bangunan tersebut di kelilingi oleh parit untuk mencegah semut masuk. Selama proses pembangunan tersebut mereka tinggal cukup lama di sini, tetapi tidak di vihara karena saat itu di vihara belum ada dapur. Mereka tinggal di rumah seorang wanita berumur 78 tahun yang tidak jauh dari vihara. Ketika pagi hari saat para bhikkhu melakukan pembacaan paritta, Sa-ing ikut berpartisipasi. Ia bahkan melakukannya pada pagi dan sore hari, dan ia melakukannya lebih baik dari para bhikkhu. Katanya, ia belajar itu sewaktu ia menjalani kehidupan di neraka. Pembangunan kuti meditasi tersebut tepat menghabiskan dana sebesar 80 baht, tidak lebih, tidak kurang. Setelah pembangunan selesai, mereka pulang ke rumahnya dan Phra Rājvisuddhiñāṇamongkol turut pergi untuk berkunjung ke rumah mereka. Di sana Phra Rājvisuddhiñāṇamongkol melihat rantai pinggang emas tersebut dan sempat menyentuhnya.
Tidak berapa lama kemudian, kondisi Pune mulai memburuk dan suatu hari ia terkena kelumpuhan sehingga harus disuapi dan dimandikan. Sejak saat itu, Sa-ing lah yang mengurus semuanya, istri kedua Pune tidak mengurusnya sama sekali, dia tinggal di rumah yang satu lagi. Dengan berjalannya waktu, empat tahun pun berlalu dan Sa-ing menginjak usia 20 tahun (batas kontrak dia menjalani kehidupan sebagai manusia), ia menjaga dan merawat Pune dengan baik. Phra Rājvisuddhiñāṇamongkol selalu mengikuti perkembangan Sa-ing karena ia sangat tertarik dengan pengalaman kehidupannya. Suatu hari Sa-ing membuat beberapa makanan dan mendanakannya ke vihara ini. Segera setelah dia menyerahkan dana makanan tersebut, dia terjatuh dan meninggal saat itu juga di sana. Saat itu Sa-ing tepat berusia 20 tahun. Phra Rājvisuddhiñāṇamongkol sendirilah yang memimpin upacara pengkremasiannya. Segera setelah Sa-ing dikremasikan, Pune pun menyusulnya, dan istri keduanya meninggal 2 tahun berikutnya. Sekarang, keluarga mereka telah terceraiberai. Setelah berselang beberapa waktu, Phra Rājvisuddhiñāṇamongkol berkesempatan memberikan ceramah Dhamma di desa tempat mereka tinggal, Ta-tako. Dia mendapati bahwa masih ada satu orang laki-laki berusia 91 tahun yang mengetahui kisah Sa-ing – Pune ini. Dia adalah bekas bhikkhu kepala daerah Amphur, Phra Khru Pundhammaguta. Ini adalah kisah nyata. Semua kisah di atas diceritakan Sa-ing yang baru kepada Phra Rājvisuddhiñāṇamongkol. Sa-ing menceritakan semua yang telah diperbuatnya, yang membuatnya jatuh ke alam neraka dan harus tinggal di sana selama 100 tahun. Di mana setiap hari uposatha, seorang bhikkhu (Phra Malai) datang ke sana untuk mengajarkan Dhamma pada para penghuni neraka.
Di neraka, para penghuninya diharuskan melafalkan paritta dan melakukan penghormatan pada Buddha, Dhamma, dan Sangha. Sa-ing yang dahulu tidak pernah dan tidak bisa melafalkan paritta, tetapi setelah menjadi penghuni neraka, ia dapat membaca dan melafalkan paritta dengan lancar dan baik. Phra Malai pergi ke sana untuk mengajarkan Hukum Karma. Dia katakan bahwa di alam neraka, penghuninya harus baca paritta dan berlatih meditasi vipassanā juga sama seperti di alam manusia. Satu hal yang membuat Phra Rājvisuddhiñāṇamongkol sangat tertarik dengan cerita Sa-ing ini adalah tentang kisah pencurian gabah yang membuat Sa-ing terjatuh ke neraka. Phra Rājvisuddhiñāṇamongkol, sewaktu kecil dia sering mencuri gabah juga, oleh karena itu dia cukup takut, karena dia juga mungkin tidak akan mendapatkan pengecualian (terhindar dari neraka).
Setelah kuti meditasi Sa-ing selesai, dia pun sejak saat itu mulai membuat kuti-kuti meditasi yang lainnya. Bagian ini adalah tambahan sedikit mengenai Phra Rājvisuddhiñāṇamongkol. Beliau adalah seorang guru meditasi dan telah belajar meditasi sejak tahun 1950 dengan banyak guru. Pada halaman 97, bab “Bagaimana Membaca Pikiranmu (How to Read Your Mind),” beliau mengatakan bahwa beliau telah berlatih meditasi selama 35 tahun; 20 melatih meditasi pernapasan Bud-dho, 10 tahun mengembangkan kemampuan menjelajah ke alam lain, melatih meditasi dengan kasina objek (salah satu jenis meditasi samatha), dan meditasi Dharmakaya. Pada halaman 28, bab “Pengalaman Saya dalam Berlatih Dhamma (My Experiences in Dhamma Practice),” beliau menceritakan pengalamannya menjelajah alam neraka. “Saya pergi dan bertemu dengan raja neraka (yomahahl). Saya berkata bahwa saya datang untuk membayar suap untuk membebaskan sanak keluarganya dari neraka. Raja neraka berkata, ‘Yang Mulia, bagaimana kamu berpikir bahwa kamu dapat menolong sanak keluargamu? Saya bahkan tidak dapat menolong ibu mertua saya. Saya sungguh-sungguh tidak bisa! Istriku memintaku untuk menolong ibunya. Ibunya telah membunuh banyak bebek, ayam, dan babi; dia seorang yang kejam dan bengis.
Dia membunuhnya untuk dimakan. Istriku memintaku menolongnya.’ Ini adalah apa yang raja neraka katakan kepadaku. Dia ingin membantu ibu mertuanya sedikit, tetapi ada begitu banyak penuntut, para angsa mengeluh, para bebek berteriak, dan para babi menjerit. Mereka berkata, ‘Raja neraka, kamu tidak dapat membantunya, dia menyebabkan banyak penderitaan pada kami.’ Raja neraka melihat situasi menjadi semakin kacau, jadi dia membatalkan usahanya. Dia tidak dapat menolong ibu mertuanya.” Dia berkata bahwa kemampuannya itu tidak dapat membantunya terbebas dari penderitaan. Oleh karena itu, sekarang beliau menekankan para yogi untuk berlatih meditasi vipassanā dengan pergerakan perut (kembung-kempis) sebagai objek utama; karena vipassanā adalah jalan satu-satunya untuk terbebas dari penderitaan (keluar dari lingkaran kehidupan dan kematian). Tidaklah jelas apakah beliau menggunakan teknik kembungkempis seperti yang ada di Myanmar yang dipopulerkan oleh Mahāsi Sayādaw.
Moral ceritanya:
Cerita ini membuktikan bahwa perbuatan buruk akan membawa seseorang mengalami penderitaan, bahkan dapat membuat seseorang terlahir di neraka. Begitu juga dengan perbuatan baik, akan mendapatkan hasil yang baik. Dalam kisah ini dapat dilihat bagaimana Sa-ing ditugaskan untuk membalas jasa suaminya yang telah banyak berjasa membantunya (melakukan pelimpahan jasa). Rasanya mustahil ada seorang gadis muda yang menawarkan dirinya untuk menjadi istri dan perawat laki-laki tua tanpa mengharapkan imbalan. Inilah salah satu bentuk perwujudan dari hukum Karma. Dalam kisah ini juga anda dapat melihat betapa pentingnya pelimpahan jasa. Semakin besar jasa yang dilimpahkan, maka efeknya juga semakin besar (besarnya jumlah pengurangan masa siksaan yang harus Sa-ing jalani di neraka). Jasa dari dana beras ke vihara “sand of cetiya,’ kemudian meningkat menjadi dana kuti atau vihara ke Sangha, dan yang terbesar adalah yang terakhir karena berasal dari pelaksanaan sila dan meditasi. Jadi marilah isi hidup yang sangat singkat ini dengan hal-hal yang bermanfaat. Sebisa mungkin hindari kejahatan dan kembangkan kebajikan. Namun demikian, akan jauh lebih baik bila anda dapat berjuang sehingga menjadi orang yang mempunyai kepastian untuk tidak jatuh ke alam rendah lagi untuk selama-lamanya. Caranya yaitu dengan menjadi seorang Sotāpanna dengan berlatih vipassanā.
Tambahan sedikit diskusi mengenai beberapa hal dalam cerita ini.
- Mengenai pelimpahan jasa. Menurut Tirokudda Sutta – Khp 7 dan Janussonin Sutta – AN 10.177, pelimpahan jasa dari dana materi seperti berdana 4 kebutuhan pokok Sangha yaitu: makanan, obat-obatan, jubah, dan tempat tinggal (vihara) hanya bisa diterima oleh makhluk peta (hantu kelaparan). Sebagai contoh anda bisa lihat kisah No. 2. Bila demikian bagaimana Sa-ing bisa menerima pengurangan hukuman? Perlu diingat bahwa Sa-ing punya hak atas properti yang didanakan tersebut, jadi dia sangat layak mendapatkan jasa dari dana yang dilakukan oleh suaminya, bukan hanya dari pelimpahan jasa saja. Di sini juga tidak disebutkan jika Sa-ing mendapatkan makanan dan tempat tinggal, tetapi hanya pengurangan masa hukuman, jadi cukup sesuai dengan sutta. Jadi perlu diketahui, bila sang suami atau istri berdana, maka keduanya mendapatkan hasil dari berdana tersebut, karena yang mereka danakan adalah milik bersama. Begitu juga halnya dengan perbuatan buruk, contoh: bila suami korupsi dan istri diam saja atau bahkan mendukungnya, maka sang istri pun menerima Karma buruknya.
- Belajar baca paritta dan latihan meditasi di neraka. Hal ini sepertinya sulit dan mustahil. Sepengetahuan penulis berdasarkan sutta-sutta yang ada, di alam neraka hanya ada siksaan. Jangankan penghuni neraka, makhluk peta saja sangat menderita sekali. Ada 8 alam neraka besar yaitu: Sañjīva, Kāḷasutta, Saṅghāta, Roruva, Mahāroruva, Tāpana, Mahātāpana and Avīci. Neraka ini berbentuk kotak dan tiap sisi sampingnya ada 4 neraka kecil. Jadi tiap neraka besar dikelilingi oleh 16 neraka kecil. Dari cerita ini, tidak diketahui Sa-ing terjatuh ke neraka yang mana. Tetapi sebaiknya ambil sisi positifnya, yaitu di tempat yang buruk sekalipun bila anda mau, maka anda bisa melakukan Tetapi akan lebih baik melakukannya sekarang, jangan sampai menunggu jatuh terlebih dahulu seperti Sa-ing. Bagi yang ingin tahu bagaimana siksaan di alam neraka, anda bisa membacanya di Devadūta Sutta – MN 130 dan lanjutan cerita Jataka di atas.
- Masalah waktu menjalankan kehidupan di neraka. Bila anda cermat, maka anda akan mempertanyakannya, oleh karena itu penulis memasukkan poin ini ke dalam diskusi ini. Bila pengurangannya sejumlah 80 tahun dan Saing menjadi manusia selama 20 tahun, berarti dia tidak menjalani kehidupan di neraka sama Jadi sebenarnya dia harus menjalaninya lebih dari 100 tahun. Bapak Pune juga baru menikah lagi setelah anak-anaknya dewasa, jadi setidaknya Sa-ing menjalani kehidupan neraka sejak meninggal sampai Pak Pune menikah kembali.
- Cara menyiasati untuk menghindari akibat dari Karma buruk. Hal ini berdasarkan anjuran Phra Rājvisuddhiñāṇamongkol. Apakah anda masih ingat tentang raja neraka yang mencoba membantu ibu mertuanya tetapi para korban (penuntut) berteriak, memprotesnya, dan meminta hal itu tidak dilakukan. Jadi sebaiknya menurut beliau pelaku kejahatan (perbuatan buruk) harus meminta maaf kepada semua makhluk yang pernah disakitinya dan lakukan pelimpahan jasa kepada mereka. Misalnya setelah anda melakukan perbuatan berjasa, anda sampaikan permintaan maaf anda, pancarkan mettā, lalu limpahkan jasa buat mereka. Waktu yang paling baik adalah setelah berlatih meditasi vipassanā; karena, bukan hanya jasa yang didapatnya sangat besar, tetapi setelah meditasi pikiran anda dalam keadaan yang jernih dan tenang, sehingga pemancaran mettā dan pelimpahan jasanya akan menjadi efektif. Bila pikiran tidak jernih dan tenang, maka pikiran terus-menerus berkelana; sehingga pemancaran mettā dan pelimpahan jasanya kemungkinan tidak efektif atau bahkan tidak mengenai sasaran sama sekali. Hal ini bisa di bandingkan dengan kasus di kehidupan nyata sekarang. Bila ada kasus hukum yang tidak adil, misalnya karena para penegak hukumnya menerima uang suap, maka para penuntut keadilan kadang berteriak-teriak di tempat sidang atau bahkan menggelar demonstrasi di jalanan atau kantor penegak hukum dan pemerintahan. Namun demikian, bila pelaku kejahatan meminta maaf kepada orang yang disakitinya, apalagi dia sekarang menjadi baik dengan pihak korban misalnya suka menolongnya, memberi hadiah, dll., maka hatinya pun bisa menjadi lunak. Ada beberapa kasus hukum di mana pihak korban (penuntut) bahkan sampai membatalkan tuntutannya. Dalam hal ini Karma buruk tersebut tidak terhapus, tetapi untuk sementara di tekan oleh kekuatan Karma baik. Oleh karena itu, minta maaflah dan limpahkanlah jasa kepada orang (makhluk) yang telah anda sakiti, apalagi hal ini tidak mengeluarkan biaya dan tidak mengurangi jasa kebajikan anda sama sekali; malah sebaliknya, anda akan memperoleh tambahan jasa kebajikan karena telah memancarkan mettā dan berbagi jasa kebajikan.
Kesimpulan
Semua kisah di atas menginformasikan bahwa perbuatan baik memberikan hasil yang baik dan perbuatan buruk memberikan hasil yang buruk pula.
Dia yang berbuat, dialah yang menerima hasilnya. Jadi, hindarilah kejahatan dan perbanyaklah kebaikan. Dengan menyadari Hukum Karma ini, anda akan takut untuk melakukan perbuatan yang tidak baik. Tetapi bila anda hanya melaksanakan kebaikan karena anda takut menerima Karma buruk, hal tersebut belumlah dapat dikatakan sebagai sesuatu yang baik.
Anda harus melakukan kebaikan karena anda mengerti bahwa kebaikan adalah hal yang benar, dan tidak melakukan kejahatan karena kejahatan adalah hal yang salah; semua ini harus dilakukan berdasarkan kebijaksanaan anda. Dengan demikian, dapat dipastikan anda akan dapat merubah dan menjalani kehidupan anda sekarang ini ke arah yang lebih baik.
Namun demikian, anda harus ingat bahwa belajar Dhamma, berdana, dan melaksanakan sila saja tidaklah cukup, karena semua itu tidaklah membuat anda mendapatkan kebijaksanaan yang membuat anda tercerahkan. Jadi, walaupun semua itu adalah hal yang baik dan akan membawa anda terlahir di alam bahagia, semua itu belumlah lengkap. Kebijaksanaan yang dapat membuat anda tercerahkan adalah kebijaksanaan pandangan terang dari meditasi vipassanā. Dapat dipastikan bahwa bila anda mau mengerahkan semangat dan meluangkan waktu, anda dapat mempraktikkan meditasi vipassanā ini dengan baik.
Saat anda mencapai kebijaksanaan pandangan terang ke-2 hasil dari mempraktikkan meditasi vipassanā, maka anda akan dapat melihat hubungan sebab dan akibat dari fenomena mental dan jasmani. Dengan demikian, anda akan lebih memahami dan percaya akan Hukum Karma ini. Keterangan ini dapat anda baca di bab terakhir buku DANA, bagian meditasi vipassanā. Tidak perlu didengar omongan di luar sana yang banyak mengatakan bahwa pencerahan/kesucian tidak bisa dicapai pada saat ini, karena telah begitu lama sejak Sang Buddha wafat (parinibbāna). Tanpa meditasi vipassanā anda tidak akan mendapatkan kebijaksanaan (paññā/vijjā); tanpa vijjā, walaupun anda bertemu dengan Sang Buddha dan menjadi muridnya, maaf, anda tidak akan tercerahkan.
Jadi bila anda telah mempunyai vijjā, dengan berlatih, anda mungkin tercerahkan di kehidupan ini juga. Tetapi, seandainya anda belum mempunyai vijjā, maka anda akan memilikinya dan dapat tercerahkan di kehidupan berikutnya. Bila anda telah memilikinya, namun tidak dilatih, maka kemungkinan anda akan kehilangan vijjā tersebut. Jadi yang terbaik adalah anda harus mengisi kehidupan yang mulia ini dengan berlatih meditasi yang akan memberikan anda vijjā, yaitu meditasi vipassanā.
Semoga dengan memahami Hukum Karma ini, anda menjadi manusia yang jauh lebih baik lagi. Semoga anda dapat terus berjuang dan maju dalam Dhamma, dan secepat merealisasi Magga, Phala, dan Nibbāna.
Sadhu!, Sadhu!, Sadhu!
Sumber :
Bhikkhu Sikkhānanda
Chanmyay Yeiktha Meditation Center
Hmawbi, Myanmar
04 Agustus, 2011 (240711-040811)
padamutisarana
28 Nov 2024
Meditasi Pernafasan adalah salah satu meditasi Buddhis yang sangat populer dan mudah dilakukan untuk mengembangkan batin dan nilai luhur setiap manusia Menurut Ajaran Sang Maha Buddha, ada 40 mata pokok Meditasi yang diperuntukkan bekerjanya pikiran dalam membangun Ketenangan melalui Jhana (Pencerapan). Ini adalah disebut Kamma-tthana, dan kata ‘Thanam’ (tempat, stasiun, landasan). Jadi, Kammatthana berarti …
padamutisarana
09 Nov 2024
Tanjung Selor, 09 November 2024 – Perkumpulan Guru Agama Buddha Indonesia (PERGABI) kini resmi terbentuk di Provinsi Kalimantan Utara (Kaltara). Kepengurusan PERGABI Kaltara untuk masa bakti 2024-2027 dibentuk melalui Musyawarah Daerah I (Musda I) PERGABI Kaltara yang berlangsung secara luring di Sekolah Buddhis Paramita bagi anggota yang berdomisili di Tanjung Selor dan daring bagi anggota …
padamutisarana
10 Agu 2024
Magetan, 10 Agustus 2024 – Perkumpulan Guru Agama Buddha Indonesia (PERGABI) Provinsi Jawa Timur mengadakan Musyawarah Daerah (Musda) I di Hotel Merah 2 Sarangan Kabupaten Magetan Jawa Timur untuk pembentukan Pengurus Daerah (PD) PERGABI Jawa Timur yang pertama. Bapak Roch Aksiadi, S.Ag., ST., MM., selaku Sekretaris Jenderal Pengurus Pusat PERGABI hadir dengan penuh semangat dan …
padamutisarana
21 Jun 2024
Kalimantan Selatan, 14 Juni 2024 – Perkumpulan Guru Agama Buddha Indonesia (Pergabi) Provinsi Kalimantan Selatan sukses mengadakan Musyawarah Daerah (Musda) 1 yang dipusatkan di Aula Vihara Buddha Sasana Pelaihari, Kabupaten Tanah Laut, pada Jumat, 14 Juni 2024. Kegiatan ini dihadiri oleh Ketua Umum Pengurus Pusat Pergabi, Bapak Sukiman, S.Ag., M.Pd.B., dengan tujuan untuk membentuk Pengurus …
padamutisarana
30 Mei 2024
Berdasarkan Permendikbudristek No. 56/M/2022, Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila adalah kegiatan kokurikuler berbasis projek yag dirancang guna menguatkan pencapaian kompetensi dan karakter profil pelajar Pancasila yang disusun berdasarkan Standar Kompetensi Lulusan. Projek ini merupakan bagian dari Kurikulum Merdeka, yang bertujuan untuk menciptakan lulusan siswa-siswa Indonesia yang tergambar sebagai profil Pelajar Pancasila. Dalam upaya membentuk Profil …
padamutisarana
30 Mei 2024
Batam, Tisarana.net – Rabu, 29 Mei 2024 Perkumpulan Guru Agama Buddha Indonesia (PERGABI) resmi terbentuk di Provinsi Kepulauan Riau (Kepri). Kepengurusan PERGABI Kepri untuk masa bakti 2024-2027 dibentuk melalui Musyawarah Daerah I (Musda I) PERGABI Kepri yang berlangsung di BIZ Hotel, Batam. Acara tersebut juga menjadi momen penting untuk pelantikan ketua baru. Dalam sambutannya, Edy …
10 Feb 2018 9.090 views
Kalyanamitta berasal dari kata Kalyana yang artinya baik atau bagus dan Mitta yang artinya teman. Jadi Kalyanamitta berarti teman yang baik atau bagus yang dapat menjadikan diri kita selalu waspada dalam menempuh kehidupan dunia dan setelah meninggal. Terdapat empat macam sahabat yang dipandang berhati tulus ( suhada ) : yaitu A. sahabat penolong ( upakaro …
21 Feb 2016 8.938 views
Ada dua orang yang tidak terbalas jasa-jasa nya siapakah mereka ? AYAH dan IBU-mu. Barang siapa dapat mendorong orangtua-Nya menjadi berkeyakinan, berkebajikan, murah hati, bijaksana, dengan berbuat begitu, orang ini telah membalas, bahkan ia telah berbuat lebih dari pada sekedar membalas jasa-jasa orangtua-NYA. ( Anguttara Nikaya 161 ) Pada kesempatan ini saya ingin mengajak para DERMAWAN yang bisa …
30 Nov 2015 8.647 views
Agama Buddha yang oleh umat Buddha dikenal sebagai Buddha Dhamma, bersumber pada kesunyataan yang diungkapkan oleh Sang Buddha Gotama lebih dari dua ribu lima ratus tahun yang lalu, yang menguraikan hakekat kehidupan berdasarkan Pandangan Terang, dan oleh karenanya dapat membebaskan manusia dari ketidaktahuan (avijja) dan penderitaan (dukkha). Dalam sejarah perkembangan agama Buddha, telah timbul berbagai …
22 Feb 2016 6.588 views
DOKTRIN KELAHIRAN KEMBALI Apakah ada kehidupan sebelum kelahiran ? Akankah ada kehidupan setelah kematian ? Ini adalah pertanyaan – pertanyaan yang perlu dibicarakan secara serius dan tenang. Pertanyaan – pertanyaan yang memiliki kepentingan filosofis seperti itu harus dipertimbangkan dengan segenap pemikiran manusia secara objektif dan tanpa prasangka, tidak dipengaruhi oleh perasaan pribadinya. Seseorang mestinya jangan …
28 Jan 2017 5.801 views
Oleh : Y.M. Acharya Buddharakkhita Terdapat berbagai cara dalam latihan metta-bhavana, meditasi cinta kasih universal. Tiga metode dasar akan diuraikan di sini. Petunjuk-petunjuk ini, didasarkan pada sumber-sumber kitab suci dan kitab komentar, ditujukan untuk menjelaskan latihan meditasi metta dalam cara yang jelas, sederhana, dan langsung sehingga setiap orang yang bersungguh-sungguh ingin melaksanakan latihan tidak memiliki …
16 Sep 2018 5.486 views
Sekolah Minggu Remaja Pusdiklat Buddhis Sikkhadama Santibhumi, hari minggu 16 September 2018, di pagi yang cerah para remaja Buddhis berdatangan untuk melaksankan puja terhadap Guru Agung Buddha. Lantunan parita yang baik, terlihat pemimpin puja Aryo dan Anan membaca sesuai dengan tanda baca yang benar. Hal ini merupakan kebanggan bagi remaja Buddhis yang terus dapat turut …
03 Des 2017 4.941 views
“ Anuttaram Punnakhetam Lokassati” Dalam kehidupan manusia didunia ini, terdapat 4 hal yang selalu diinginkan, yaitu : menjadi kaya raya, memperoleh kedudukan yang tinggi, usia panjang, dan mencapai alam kebahagiaan setelah berakhirnya kehidupan di dunia. Secara universal praktek memberi (berdana) dikenal sebagai salah satu keluhuran manusia yang paling mendasar. Terlebih dalam ajaran agama Buddha berdana …
Comments are not available at the moment.